Dibanding SBY, Jokowi Memang “Agak Laen”
JAKARTA – Sejak zaman reformasi, Indonesia sudah menggelar lima kali pemilihan presiden secara langsung. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih pada Pilpres 2004 dan 2009, Joko Widodo (Jokowi) 2014 dan 2019, serta terakhir ada nama Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.
Dari ketiga nama tersebut, dua di antaranya sudah lengser keprabon, yakni SBY dan Jokowi. Tapi, keduanya memiliki perbedaan menjelang lengser dari tampuk kekuasaan di tanah air. Betul, keduanya sama-sama berupaya memoles atau menampilkan citra positif sebelum turun dari kursi kepresidenan.
SBY, yang menurut hasil survei Indikator Politik punya angka kepuasan pada kinerja di rentang 45-85 persen dengan tingkat kepuasan mayoritas berada di rentang 50-60 persen menjelang lengser, diketahui tetap berupaya menjaga citra positifnya. Belum masifnya peran media sosial saat itu, membuat SBY memilih tampil di media sesering mungkin.
Salah satu contohnya adalah tampilnya SBY bersama keluarga dalam acara wawancara di sebuah stasiun tv swasta dengan tajuk “SBY dan Keluarga Bicara”. Pengamat komunikasi politik, Ari Junaedi menilai bahwa hal tersebut merupakan cara SBY meninggalkan kenangan dan citra positif sebelum turun dari kursi kepresidenan.
“SBY ingin meninggalkan kenangan indah akan diri dan keluarga. SBY tidak ingin publik mengenalnya sebagai presiden yang tidak berprestasi. Apalagi jelang berakhirnya SBY sebagai RI-1, isu dan gosip miring tentang Cikeas terus bermunculan di publik melalui media. Kasus pajak, kasus dugaan pemberian uang untuk Ibas bahkan dugaan ambisi keluarga untuk mengambil alih kendali Partai Demokrat dan lain-lain menjadi bulan-bulanan isu yang dicerna masyarakat lewat media. Melalui media pulalah SBY ingin menangkis tuduhan itu,” terangnya, Kamis 21 Maret 2014 silam.
VOIR éGALEMENT:
Menurut dia, penampilan di media ini adalah cara strategi SBY dalam membalikkan citra yang selama ini terekam dalam memori publik. Dia menduga SBY ingin masyarakat mengenalnya sebagai pemimpin yang berhasil membangun pondasi kenegaraan dan pembangunan yang sukses.
Di sisi lain, Jokowi justru “agak laen”. Berbeda dengan SBY, menjelang lengser, Jokowi diduga meminta kementerian terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menggencarkan kampanye keberhasilan pemerintahan sepuluh tahun terakhir untuk memoles citra mantan Gubernur DKI Jakarta itu, baik di media konvensional maupun media sosial.
Tapi, tudingan itu ditepis Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Prabu Revolusi, yang menegaskan tidak pernah mengeluarkan surat atau dokumen resmi perihal kerja sama antara pemerintah dengan media terkait kampanye keberhasilan pemerintahan Jokowi.
“Kalau ada yang bilang ditawari, coba ada suratnya enggak? Tidak mungkin Kominfo membuat kerja sama tanpa dokumen, ini good corporate governance yang kami jaga. Saya mau tahu malahan, karena selama saya ada di Kominfo enggak pernah ada penawaran miliaran rupiah sama media,” tuturnya, Senin 14 Oktober lalu.
Meski demikian, dia mengakui memang ada kerja sama antara pemerintah dan sejumlah media untuk mensosialisasikan beragam capaian pemerintah ke publik yang sudah terjalin sejak lama dan terdokumentasi.
Orkestrasi dan Manipulasi Keberhasilan Jokowi Masif di Medsos
Sayangnya, tepisan dari Kementerian Kominfo malah terpatahkan di media sosial. Lembaga Data & Democracy Research Hub menemukan adanya “orkestrasi atau operasi manipulasi” yang sangat masif di X (dulu bernama Twitter) untuk mengubah citra Jokowi yang mayoritas negatif menjadi positif.
Co-director Data & Democracy Research Hub, Ika Idris mengungkapkan hal tersebut bisa terbaca dari penggunaan tagar #terimakasihjokowi, #TerimaKasihPresidenJokowi, #SelamatBertugasPrabowo, #10thnJokowiPrabowo, dan #KerjaNyataJokowi, sepanjang periode 1 hingga 14 Oktober 2024.
“Ada orkestrasi atau operasi manipulasi citra Jokowi yang sangat masif di media sosial. Pasti ada yang menggerakkan ini. Di akhir masa jabatannya, percakapan tentang Jokowi lebih banyak yang negatif, mulai dari peringatan darurat, Fufufafa, politik dinasti hingga IKN. Jadi ini seperti ada upaya membersihkan nama Jokowi di saat-saat terakhirnya,” terangnya.
Dia menjelaskan, orkestrasi kampanye “Terima Kasih Jokowi” dilihat dari tiga indikator. Pertama adalah jumlah rata-rata cuitan tiap akun. Berdasarkan temuan, terdapat 46.106 percakapan yang melibatkan 6.182 akun. Artinya setiap akun mencuit sebanyak 7,45 kali. “Jumlah itu terlalu banyak. Biasanya kalau organik cuma satu sampai 1,5 malah, untuk rata-rata cuitan,” imbuhnya.
Indikator kedua adalah pola waktu puncak percakapan. Temuan Data & Democracy Research Hub menunjukkan percakapan tentang “Terima Kasih Jokowi” mencapai puncak di pukul 12.00 hingga 15.00 WIB. “Biasanya cara kerja buzzer memang begitu. Kalo misalnya ada pesanan twit, dia akan naik di jam tertentu. Berbeda dengan yang organik atau tidak pakai tagar, hanya Jokowi saja, itu cenderung merata waktunya,” ujar Ika.
Indikator terakhir adalah perubahan sentimen percakapan warganet. Temuan Data & Democracy Research Hub menunjukkan bila pembicaraan “Thank You Jokowi” nada positifnya mendominasi. “Artinya memang sengaja dibuat untuk membuat sentimen yang positif. Terus kalau kita lihat emojinya juga paling banyak joy, isinya itu untuk bergembira ibaratnya,” tambah Ika.
Dia mengatakan, jika hanya ditulis Jokowi saja maka sentimen negatif jauh lebih besar. Hal itu terlihat dalam analisis sejak Juni hingga akhir September, di mana puncak percakapan negatif tentang Jokowi terjadi pada 22 Agustus, saat “peringatan darurat muncul” sebagai respon dari rencana DPR merevisi UU Pilkada.
Analisis Drone Emprit juga menunjukkan pola sama, dengan catatan lebih dari 175 juta interaksi dan 25.000 mention yang melibatkan 4.846 akun di beragam platform media sosial, dari 1-14 Oktober 2024 dalam kampanye “Terima kasih Jokowi”. Dari jumlah interaksi itu, yang terbesar adalah di platform X yang mencapai 171 juta interaksi, lalu di Tiktok sebesar 3,6 juta, dan diikuti Youtube (198.843), Facebook (21.084) dan Instagram (3.889).
Menurut peneliti Drone Emprit, Rizal Nova Mujahid, akun-akun yang paling banyak memproduksi perbincangan positif adalah kementerian, lembaga, BUMN dan juga pendukung Jokowi. Mereka membahas tentang kemajuan ekonomi, infrastruktur, pariwisata, hingga keberpihakan pada kelompok rentan 10 tahun pemerintahan Jokowi.
Dia mengungkapkan, tren kampanye “Terima kasih Jokowi” terus meningkat dari hari ke hari walaupun tipis dan dilakukan secara terorganisir. “Betul ini sangat terorganisir, dilihat dari narasinya yang serupa, waktu posting tidak terpaut jauh. Lalu kecenderungan antara akunnya yang ada interaksi, dan ada kluster yang kelihatan dekat sekali,” tambah Nova.
Jokowi Wariskan Hutang Jumbo ke Prabowo Subianto
Dari segi warisan utang ke pemerintahan berikutnya, Jokowi juga “agak laen” dibandingkan SBY. Pada 2014, utang pemerintah warisan SBY ke Jokowi diketahui sebesar Rp2.608,78 triliun atau setara 24,7 persen PDB. Sementara Jokowi akan meninggalkan warisan utang hingga lebih dari Rp8.000 triliun atau setara 39,13 persen PDB, untuk presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Dalam buku APBN KiTa edisi Agustus 2024, Kementerian Keuangan melaporkan jumlah utang pemerintah mencapai Rp8.502,69 triliun per 31 Juli 2024. Utang itu mencakup surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.462,25 triliun atau sekitar 87,76 persen dan pinjaman sebesar Rp1.040,44 triliun atau 12,24 persen.
Warisan utang jumbo itu membuat Prabowo langsung dihadapkan dengan pembayaran utang jatuh tempo Rp800,33 triliun di 2025. Rinciannya, Rp705,5 triliun dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp94,83 triliun lainnya berupa pinjaman.
Utang itu belum termasuk bunganya, yang pada 2025 menembus Rp552,85 triliun. Jika ditotal, utang jatuh tempo dan bunga yang harus dibayar Prabowo di tahun pertamanya menjabat sebagai presiden adalah Rp1.353,1 triliun.
Menurut Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, warisan utang dari Jokowi lebih membebani APBN Prabowo dibandingkan warisan utang SBY kepada Jokowi, terutama di tahun pertama pemerintahan baru. Bahkan, beban utang dan bunga warisan Jokowi sudah menyalakan lampu kuning yang harus diwaspadai pemerintah.
“Sebenarnya, beban utang dan bunga utang Indonesia sudah mengkhawatirkan karena sudah menyentuh 39 persen hingga 40 persen terhadap PDB. Batasnya memang 60 persen terhadap PDB, tapi pemerintah harus hati-hati dalam menambah utang baru ke depan,” tuturnya, Sabtu 19 Oktober 2024.
Dia menegaskan, hal yang perlu dievaluasi secara komprehensif adalah efektivitas penggunaan utang selama ini. Sebab, penggunaan utang selama ini disinyalir belum berdampak pada kesejahteraan masyarakat ataupun pertumbuhan ekonomi.
Misbah menyebut, penurunan kemiskinan di akhir pemerintahan Jokowi hanya bersifat artifisial. Pasalnya, capaian itu didapat berkat penggelontoran berbagai bansos. “Jadi, itu hanya obat sementara. Padahal, hampir 23,4 persen masyarakat Indonesia berada di posisi kerentanan tinggi,” tukasnya.