JAKARTA - Militer Myanmar membatasi bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan bagi korban gempa bumi di daerah-daerah yang dianggap menentang kekuasaannya.

Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan pihaknya sedang menyelidiki 53 serangan yang dilaporkan oleh junta terhadap lawan-lawannya sejak gempa bumi melanda pada tanggal 28 Maret, termasuk serangan udara,

Pada Jumat, kantor tersebut diberitahu tentang delapan serangan lebih lanjut yang sedang diselidiki.

Seorang juru bicara junta militer Myanmar tidak menanggapi panggilan dari Reuters untuk meminta tanggapan.

Situasi kemanusiaan di daerah gempa bumi, terutama yang berada di luar kendali militer, sangat dahsyat, kata juru bicara kantor hak asasi manusia PBB Ravina Shamdasani kepada wartawan di Jenewa dilansir Reuters, Jumat, 4 April.

Gempa berkekuatan 7,7 skala Richter itu, salah satu yang terkuat yang melanda Myanmar dalam satu abad, mengguncang daerah yang dihuni 28 juta orang, merobohkan bangunan, meratakan masyarakat, dan membuat banyak orang kehilangan makanan, air, dan tempat tinggal.

Junta militer Myanmar mengatakan jumlah korban tewas telah meningkat menjadi lebih dari 3.100.

"Pembatasan bantuan merupakan bagian dari strategi untuk mencegah bantuan sampai ke populasi yang dianggap tidak mendukung perebutan kekuasaan pada tahun 2021," kata James Rodehaver, kepala tim OHCHR di Myanmar, yang berbicara melalui tautan video dari Bangkok.

Kebutuhan akan bantuan sangat mendesak di wilayah Sagaing di Myanmar, dan waktu tidak cukup untuk membantu mereka yang membutuhkan, imbuhnya.

"Serangan udara mengkhawatirkan, mengejutkan, dan harus segera dihentikan - fokusnya harus pada pemulihan kemanusiaan," kata Shamdasani.

Pemerintah melalui MRTV yang dikelola negara pada Rabu malam mengumumkan gencatan senjata sepihak selama 20 hari yang berlaku segera untuk mendukung rehabilitasi pascagempa, tetapi memperingatkan akan "menanggapi dengan tepat" jika pemberontak melancarkan serangan.

Jutaan orang telah terkena dampak perang saudara yang meluas di Myanmar, yang dipicu oleh kudeta yang menggulingkan pemerintahan peraih Nobel perdamaian Aung San Suu Kyi. Perang ini telah menghancurkan ekonomi yang sebagian besar berbasis pertanian, mengusir lebih dari 3,5 juta orang dari rumah mereka, dan melumpuhkan layanan penting seperti layanan kesehatan.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)