JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima permohonan uji materi atas Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) yang diajukan oleh 29 musisi yang tergabung dalam Vibrasi Suara Indonesia (VISI).
Dalam permohonannya, 29 musisi itu meminta MK untuk menguji lima pasal dalan UUHC, yaitu Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2).
Adapun, uji materi terhadap lima pasal UUHC tersebut didasarkan pada Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (2) yang ada di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pasal 28D ayat (1) berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Sementara, Pasal 28G ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
SEE ALSO:
Panji Prasetyo selaku kuasa hukum 29 musisi yang memohonkan uji materi UUHC (Pemohon) mengatakan bahwa jalur konstitusional ini diambil untuk meminta kepastian hukum dari kegaduhan di ruang publik terkait royalti performing rights dari pertunjukan musik.
“Kalau kita sih usulnya supaya nggak bingung lagi. Kalau bahasa hukum nih, empat dari lima pasal tetap dinyatakan konstitusional, tapi dengan extended explanation, artinya dengan penjelasan tambahan. Supaya apa? Supaya orang nggak bingung,” kata Panji saat ditemui di kantornya di Cilandak, Jakarta Selatan baru-baru ini.
“Jadi, Undang-Undang ini sudah benar secara prinsip, tapi yang masalah mungkin sistematikanya atau wordings-nya (pilihan katanya), hingga orang bisa menafsirkan macam-macam. Jadi, kalau itu diatur lebih benar dengan bahasa yang lebih tepat, mungkin nggak ada masalah lagi, mungkin nggak ada penafsiran liar lagi,” sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, Panji juga menjabarkan alasan mengapa lima pasal dalam UUHC itu perlu diuji. Berikut penjelasannya.
1. Pasal 9 ayat (3)
Pasal ini berbunyi: “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”
Dalam hal ini, Panji menjelaskan bahwa pihaknya meminta agar pasal tersebut diperluas pengertiannya untuk memasukkan pengecualian.
“Kita mau minta ke MK begini, 'Pak Hakim MK, Pasal 9 ayat (3) ini tetap konstitusional, tapi kita usul dikasih syarat.’ Syaratnya apa? Sepanjang dimaknai izin itu tidak berlaku untuk performing rights. Karena kalau performing rights izinnya melalui LMK (Lembaga Manajemen Kolektif),” katanya.
Panji menampik keras pernyataan Ahmad Dhani di media sosialnya, yang menyebut pihak VISI ingin menghilangkan pasal tersebut. Menurut kuasa hukum Pemohon, anggota DPR RI yang juga Dewan Pembina Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) itu telah melakukan pembohongan publik.
“Yang kita minta, di Pasal 9 ayat (3) itu diperluas pengertiannya untuk memasukkan pengecualian,” katanya. “Pengecualian ini sebenarnya sudah ada di Pasal 23 ayat (5).”
Panji melanjutkan, “Pasal itu juga ada di seluruh dunia, untuk performing. Saya mau tanya, ada nggak di dunia yang nggak punya pasal semacam Pasal 23 ayat (5)? Kan pasal itu fungsinya ada dua, pertama adalah supaya nggak ribet atau (memberikan) kemudahan. Kemudian yang kedua, ini adalah jalan untuk terciptanya Lembaga Manajemen Kolektif.”
Dengan keras, Panji menjelaskan bahwa tidak ada maksud Pemohon untuk menghilangkan hak pencipta lagu. “Izin tetap perlu, tapi untuk performing izinnya melalui LMK. Bukan diambil loh, bukan nggak perlu izin loh artinya ya, jangan salah ya, sepanjang membayar.”
2. Pasal 23 ayat (5)
Pasal ini berbunyi: “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.”
Dalam hal ini, Panji menjelaskan bahwa pasal ini tetap konstitusional, namun pihaknya meminta adanya penjelasan lebih lanjut terhadap dua hal, yaitu pemaknaan terhadap frasa ‘setiap orang’ dan pembayaran royalti yang dapat dilakukan sebelum atau setelah Penggunaan.
“Sekarang kita minta unsur 'setiap orang' ini diperluas, karena 'setiap orang' itu bisa aja badan hukum, karena yang melakukan pertunjukan itu bukan hanya orang,” kata Panji.
Dia melandaskan argumennya atas apa yang terjadi di banyak konser atau festival musik. Pada kasus ini, penyanyi sama halnya seperti kru panggung, yang mana berstatus sebagai penerima upah dari penyelenggara.
“Penyanyi adalah salah satu unsur di dalam pertunjukan itu, termasuk mereka yang bikin panggung dan lighting. Medska sama. Mereka cuma dapat bayaran aja kan. Apakah kalau tiket nambah terus mereka dapat tambahan? Nggak lah, honor aja kan. Yang dapat keuntungan adalah si penyelenggara,” tutur Panji.
“Nah, itulah definisinya. Yang mau kita tunjukkan itu definisinya juga diperluas. Itu saya minta begitu, tetap tanpa izin tapi 'setiap orang’-nya diperluas. Jadi, user-nya siapa, yang harus bayar royalti siapa itu diperluas,” lanjutnya.
Sementara terkait waktu pembayaran, kata Panji, dilakukan sebelum atau setelah Penggunaan karena banyaknya jenis pertunjukan musik mengharuskan penampil membawakan lagu tanpa direncanakan sebelumnya.
“Pembayarannya itu bisa sebelum atau setelah. Itu kan logikanya, konser kan banyak begitu, apalagi kalau misal minta lagu tambahan,” katanya. “Kenapa logikanya nggak mungkin izin, karena kan pebayaran royaltinya bisa di belakang. Kan kita waktu izin nggak tahu kalau lagu itu mau dipakai. Iya kan? Aneh kalau kita ikutin logikanya AKSI.”
3. Pasal 81
Pasal ini berbunyi: “Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2).”
Dalam hal ini, Pemohon yang diwakili kuasa hukum menyatakan bahwa Pasal 81 sama halnya dengan Pasal 9 yang berbicara mengenai lisensi.
“Coba dibaca dengan benar, kalau punya otak dikit dan nggak buta huruf, kita bisa tahu kalau Pasal 81 itu cuma bicara soal mechanical (rights). Sama lagi, kan ada pengecualiannya kalau performing, jadi ya nggak perlu,” ujar sang kuasa hukum.
“Kita ulangi lagi, Pasal 81 itu benar butuh lisensi, tapi kecuali performing. Balik lagi nih, tapi ingat ya, jangan bilang nggak perlu izin, itu perlu, tapi nggak perlu dari pencipta langsung. Ya kan? Karena mekanismenya begitu,” imbuhnya.
4. Pasal 87 ayat (1)
Pasal ini berbunyi: “Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial.”
Dalam hal ini, Panji menegaskan bahwa Pemohon meminta penegasan dari MK – bahwa pasal tersebut tetap konstitusional – sepanjang tidak dimaknai ada orang lain yang boleh memungut royalti selain LMK.
“Nggak mungkin memungut (royalti performing rights) satu-satu lah. Biarkanlah LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) kerja, nanti duitnya dibagi ke lu (pencipta lagu), nanti dipotong 20 persen,” katanya. “Seluruh dunia juga begitu, daripada pencipta harus memungut sendiri-sendiri.”
Ia melanjutkan, “Kalau konsernya di Fakfak gimana coba? Kalau di Yugoslavia gimana? Lu nggak tahu juga ada konser itu. Tapi kalau ada LMK, dia punya perwakilan, dia punya jaringan. Jadi, bisa ketahuan.”
Panji juga menyatakan pendapatnya, bahwa penerapan direct license untuk performing rights – seperti yang dinyatakan AKSI – tidak bersesuaian dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Kita minta penegasan ke MK kalau Pasal 87 ayat (1) hanya untuk LMK. Jadi kalau ada orang mau nentuin royalti performing sendiri, boleh nggak? Kita tanya ke MK. Ya kita minta jawabannya 'Nggak boleh lah, cuma LMK yang boleh.’ Terus boleh nggak orang nentuin tarif sendiri? Ya nggak boleh lah. Kacau nanti.”
5. Pasal 113 ayat (2)
Pasal ini berbunyi: “Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5O0.OOO.000,O0 (lima ratus juta rupiah).”
Berbeda dari empat pasal sebelumnya – yang dinyatakan tetap konstitusional dengan penjelasan tambahan – Panji menyatakan bahwa pihaknya meminta agar ‘huruf f’ (pertunjukan Ciptaan) dicabut dari Pasal 113 ayat (2).
Panji menyebut ada dua alasan mengapa ‘huruf f’ harus dicabut dari pasal ini. “(Alasan) pertama, Pasal 113 ayat (2) itu bunyinya adalah 'pidana untuk penggunaan tanpa izin'. Balik lagi, kalau performing perlu izin nggak? Nggak perlu. Udah ada izin dari LMK kan. Jadi pasal itu nggak masuk dong mestinya. Itu kan buat pasal yang di luar performing”
“Alasan kedua, kalau saya hutang sama orang, saya nggak bayar, hubungan kita perdata apa pidana? Kan perdata. Tapi kalau saya ngutang sama orang, saya ngasih sertifikat rumah, ternyata sertifikat itu bodong, itu baru pidana,” kata Panji memberikan perumpamaan. “Pajak juga begitu. Emang kalau kita nggak bayar pajak bisa dipidana sama negara? Nggak. Paling disita (hartanya) sama pengadilan. Kecuali kalau kita menggelapkan pajak. Itu baru (pidana).”
Menurutnya, tidak membayarkan royalti performing rights merupakan bentuk wanprestasi – yang mana masuk ke dalam ranah keperdataan.
“Nah, jadi kita minta itu dikeluarkan dari pasal pidana. Karena nggak logis. Pertama, dia memang nggak perlu izin langsung, sementara pasal itu hanya untuk pidana tanpa izin. Kedua, ini kan masalah keperdataan.”
*Uji Materi VISI Tidak Menghilangkan Hak Pencipta*
Dari penjabaran mengenai lima pasal yang masuk dalam permohonan uji materi, Panji menyebut tidak ada sama sekali yang bertujuan untuk menghilangkan hak pencipta lagu.
“Lihat nggak? Ada yang mau dihapus nggak? Ada yang mau diambil nggak hak pencipta dari permohonan ke MK ini? (Jawabannya) nggak ada,” ujar Panji. “Makanya please lah, baca yang benar, pake hati, pake otak lah, jangan agitasi, jangan manas-manasin orang terus lah.”
Lebih lanjut, kuasa hukum Pemohon itu menyatakan bahwa 29 penyanyi yang memohonkan uji materi UUHC akan tunduk pada keputusan dari Majelis Hakim di MK.
“Ini kita cuma minta kepastian kok. Nanti MK misalnya nggak sesuai dengan (permohonan uji materi) kita – ya walaupun nggak mungkin sih kalau lihat hakim MK yang sekarang – mereka akan commit, mereka akan ikuti kok,” kata Panji. “Nanti kalau hakim MK mutusin kalau ini memang harus izin langsung, kita jalanin kok.”
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)