Ini Penyebab Stagnasi Pasar Mobil Baru Menurut Riset LPEM UI

JAKARTA - Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan bahwa stagnasi pasar mobil baru disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kenaikan harga mobil dan kondisi pendapatan per kapita. 

Menurut peneliti senior LPEM FEB UI, Riyanto, pendapatan per kapita hanya naik sebesar tiga persen dalam 10 tahun terakhir, sementara harga mobil naik 5-6 persen, di atas tingkat inflasi yang saat ini sebesar empat persen. Faktor-faktor ekonomi lain seperti suku bunga kredit, kurs, harga bahan bakar, dan ketersediaan stok mobil juga berperan.

“Tetapi yang paling signifikan adalah harga mobil dan pendapatan per kapita,” ungkap Riyanto, dilansir dari ANTARA, rabu, 10 Juli.

Penelitian yang dilakukan LPEM FEB UI bekerja sama dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menunjukkan bahwa pendapatan per kapita naik rata-rata 3,65 persen per tahun dari 2013 hingga 2022, sedangkan pertumbuhan penjualan mobil menurun rata-rata 1,64 persen per tahun. Sebagai perbandingan, dari tahun 2000 hingga 2013, pendapatan per kapita naik rata-rata 28,26 persen per tahun dan penjualan mobil meningkat 21,23 persen per tahun. 

Pengaruh Peningkatan Penjualan Mobil Bekas di Jawa terhadap Pertumbuhan Penjualan Mobil Baru

​​​​​​Pada tahun 2022, sekitar 65 persen pembeli mobil di Jawa memilih mobil bekas, antara lain karena beda harga yang semakin lebar antara mobil baru dan mobil bekas.

Ketika harga mobil baru semakin tinggi dan pendapatan per kapita kenaikannya tidak sebanding, mobil bekas menjadi pilihan bagi yang menginginkan kendaraan dengan harga terjangkau.

"Pilihannya itu mungkin karena pendapatannya tidak naik tinggi, harga mobil barunya juga cukup besar naiknya, pilihannya akhirnya mobil bekas," kata Riyanto.

"Apalagi, pasar mobil bekas di 10 tahun terakhir ini pembelinya itu tidak beli kucing dalam karung. Sekarang cacatnya dikasih tahu sekarang, digaransi. Jadi sudah relatif transparan," kata dia.

Stagnasi dalam penjualan mobil baru, menurut pendapat Riyanto, dapat diatasi menggunakan pendekatan jangka panjang dan jangka pendek.

Dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan per kapita dapat dicapai melalui re-industrialisasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Meningkatkan nilai tambah dalam perekonomian dan pertumbuhan ekonomi minimal enam persen dengan re-industrialisasi agar porsi sektor manufaktur terhadap PDB bisa mencapai 25 persen hingga 30 persen, mendorong pendapatan per kapita kelompok menengah ke atas naik ke kelas makmur," Riyanto menjelaskan.

Solusi jangka pendek yang dapat dijalankan untuk mengatasi stagnasi dalam penjualan mobil, menurut dia, antara lain penurunan komponen pajak pada harga mobil.

Komponen pajak saat ini mencapai 40 persen dari harga off the road mobil. Penurunan pajak bisa membuat harga mobil menjadi lebih terjangkau bagi konsumen.

Selain itu, keberhasilan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tahun 2021 dalam mendorong peningkatan penjualan mobil merupakan contoh bagaimana kebijakan fiskal yang tepat dapat mendorong pertumbuhan pasar.

Riyanto juga mengemukakan perlunya stimulus fiskal agar kelompok menengah ke atas yang hampir masuk ke kategori makmur dapat membeli mobil baru, misalnya dengan insentif pajak untuk kendaraan mobil ramah lingkungan (Low Cost Green Car/LCGC) dan 4x2 low.

Di samping itu, dia menyarankan penyegaran kembali program mobil murah pemerintah serta mendorong efisiensi produksi mobil dan pemberian diskon dalam pembelian mobil.

"Nah untuk produsen ini sudah seberapa efisien dalam produksi? Apakah mungkin pemberian diskon? Pameran dan pemberian diskon itu kan program untuk mendorong pasar sebetulnya," pungkasnya.