Langkah Sunyi Partai Golkar, Antara Penyelamatan dan Coat-tail Effect

JAKARTA – Tak ada angin, tiada hujan, pada hari Minggu 13 Agustus, Partai Golkar tiba-tiba menyatakan bergabung dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang digawangi Partai Gerindra dan PKB. Parpol pimpinan Airlangga Hartarto itu juga mendeklarasikan dukungannya pada Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (capres) di pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Keputusan Partai Golkar merapat ke Prabowo terhitung mengejutkan. Sebab, selama ini Golkar merupakan anggota Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN dan PPP. Meskipun, PPP belakangan memilih merapat ke PDI Perjuangan dan mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres.

Ditinggalkan PPP, Golkar dan PAN sebenarnya masih mampu untuk meramaikan pilpres 2024. Dengan total gabungan kursi parlemen sebesar 22,43 persen (129 kursi), kedua parpol itu bisa membuat poros koalisi baru untuk bersaing dengan PDI Perjuangan maupun KKIR.

Tapi pada akhirnya, kedua parpol tersebut justru bergabung dengan KKIR yang mengusung Prabowo sebagai capres. Lantas, apa yang sebenarnya menjadi pertimbangan Airlangga Hartarto sebagai ketum Golkar memilih mendukung Prabowo?

Kepada VOI, politisi senior Partai Golkar yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, ada beberapa pertimbangan sehingga Golkar bergabung ke KKIR, alih-alih bersama PDI Perjuangan. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus lalu sempat menyinggung sebutan “Pak Lurah” dan “belum ada arahan dari Pak Lurah”.

Caption

Sandera Politik

Meski Jokowi menampik sebutan tersebut dengan menyatakan dirinya sebagai Presiden RI, bukan ketua koalisi, politisi senior Golkar justru mengakui adanya “arahan” dari Jokowi sehingga Airlangga Hartarto bergabung ke koalisi Gerindra dan PKB. Apalagi, selama ini sosok Menko Perekonomian itu memang dikenal dekat dengan sang presiden.

Sayangnya, dia enggan menjelaskan secara gamblang “arahan Pak Lurah” tersebut. Termasuk ketika dikonfirmasi terkait pemeriksaan Airlangga oleh Kejaksaan Agung terkait izin ekspor CPO. “Kalau soal itu biar publik yang menilai,” ujarnya singkat.

Soal dugaan sandera politik, pengamat politik Andriadi Achmad menilai bahwa keputusan Golkar tetap berada di gerbong Presiden Jokowi tak lepas dari keinginan meminimalisir risiko. Golkar, tentu sudah berkaca dari Partai NasDem yang berbeda arah dengan Jokowi sehingga berdampak luas terhadap parpol pimpinan Surya Paloh itu.

Dia menyebut, Airlangga memilih mengikuti arahan Jokowi demi menyelamatkan Golkar di pileg 2024. Hal ini menyusul dinamika yang terjadi mulai dari wacana munaslub hingga dipanggilnya Airlangga oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi terkait izin CPO. “Politik sandera membuat ciut Partai Golkar,” ungkap Andriadi.

Dalih penyelamatan Partai Golkar memang lebih dikedepankan sebagai salah satu alasan bergabung dengan Prabowo Subianto. Politisi senior Golkar mengungkapkan, meski bergabung dan mendukung Prabowo, pihaknya tidak akan ngotot mengajukan nama sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres). Apalagi, sebelum bergabung dengan KKIR, dia mengakui jika Golkar sempat berpikir membuat poros baru untuk mengusung duet Airlangga Hartarto – Gibran Rakabuming Raka.

“Sayangnya, wacana itu tidak mendapat respons positif dari parpol-parpol lain,” tuturnya.

Daya Tawar Politik

Karena itu, Golkar kini lebih fokus menghadapi pileg 2024 agar mampu meraih suara dan kursi sebanyak-banyaknya di parlemen. Terlebih, Airlangga juga disebut tidak berniat untuk kembali menduduki kursi ketua umum. Selain itu, dengan bergabung ke koalisi Prabowo, Golkar tentu berharap mendapatkan coat-tail effect atau efek ekor jas di pileg nanti.

Hitung-hitungan partai berlogo pohon beringin, kata politisi senior Golkar tersebut, dengan meraih suara dan kursi sebanyak-banyaknya di parlemen, tentu pihaknya memiliki posisi tawar atau bargaining yang tinggi terutama dalam penyusunan kabinet jika Prabowo memenangi kontestasi pilpres 2024.

Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, Luhut Binsar Pandjaitan, tidak mempermasalahkan keputusan partainya bergabung dengan Prabowo. “Saya kira kalau Golkar sudah menentukan sikap, itu bagus dan tidak ada masalah. Saya diberitahu Pak Airlangga soal keputusan Golkar untuk mendukung Pak Prabowo sudah jelas. Bahwa Golkar tidak bisa mencalonkan presiden tidak masalah. Sekarang konsentrasi di pileg agar perolehan kursi di parlemen bisa meningkat,” kata dia.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi sudah memprediksi bergabungnya Partai Golkar ke Prabowo Subianto. Menurutnya, hal itu merupakan bagian dari rivalitas antarking-maker di pilpres 2024, yakni Jokowi dan Megawati Soekarnoputri.

“Diawali hubungan antara Jokowi dan Megawati yang terlihat renggang terutama setelah gagalnya pelaksanaan Piala Dunia U-20. Jokowi ingin membentuk koalisi besar dengan menggabungkan KIB dan KKIR yang diinisiasi di Rumah PAN. Jadi bergabungnya Golkar merupakan bagian dari bergabungnya koalisi besar pemerintah di bawah Jokowi,” terangnya.

Dia juga menilai, bergabungnya Golkar ke Prabowo yang berkali-kali melalui Airlangga Hartarto menyatakan tegak lurus dengan arahan Jokowi mengirimkan pesan bahwa “lirikan mata” Jokowi lebih condong ke Prabowo daripada Ganjar Pranowo.

Pelanggaran AD/ART Partai

Sebab, meski keduanya berasal dari parpol yang sama, posisi Ganjar yang diendorse oleh Megawati membuat ketua umum PDI Perjuangan itu disebut memiliki kontrol penuh jika Gubernur Jawa Tengah tersebut memenangi pilpres.

“Pada titik tertentu, Jokowi juga ingin memainkan peran tertentu usai 2024. Hal ini bisa diwujudkan jika Prabowo yang tidak punya atasan lagi di Gerindra yang menang. Jadi ini bukan hanya rivalitas capres dan cawapres, tapi antarking-maker dalam hal ini Jokowi dan Megawati,” tambah Burhan.

Tapi, keputusan Airlangga Hartarto membawa Golkar mendukung Prabowo tidak serta merta menyelesaikan masalah di internal Golkar. Jumat 18 Agustus, koordinator Tim Pemrakarsa Kebangkitan Partai Golkar, Lawrence Siburian melaporkan Airlangga ke Dewan Etik Partai, karena dianggap melakukan pelanggaran berat atas AD/ART partai.

Dia menjelaskan, pelanggaran yang dilakukan adalah karena Airlangga tidak melaksanakan keputusan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) Partai Golkar pada 22 Maret 2021 lalu yang telah menetapkannya sebagai calon presiden pada pilpres 2024. Sebaliknya, Golkar justru mendukung Prabowo yang diusung Gerindra dan PKB sebagai capres.

“Jadi Pak Airlangga itu hanya satu yaitu diputuskan untuk menjadi capres. Tetapi kenyataannya, per hari ini dia tidak melaksanakan keputusan Rapimnas, tapi malah mendukung Prabowo sebagai capres. Keputusan itu sudah masuk dalam kategori pelanggaran berat AD/ART partai,” ujarnya.

Lawrence menganggap, keputusan Airlangga mendukung Prabowo merupakan sikap pribadi yang tidak berkaitan dengan Partai Golkar. Seharusnya, Airlangga menggelar Rapimnas jika ingin mengubah hasil Rapimnas sebelumnya, termasuk keputusan untuk berkoalisi dan mendukung capres tertentu di 2024.

“Kami minta Dewan Etik memproses laporan ini secepatnya dan menjatuhkan sanksi terberat yakni memberhentikan Airlangga sebagai ketua umum. Selanjutnya dilaksanakan Munaslub untuk memilih ketua umum yang baru,” imbuhnya.

Pelurusan Amanat Munas

Tapi, klaim Lawrence Siburian itu dibantah Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Hubungan Kelembagaan Partai Golkar, Melchias Marcus Mekeng. Dia menegaskan, amanat Munas Partai Golkar adalah menyerahkan kewenangan terkait Pilpres 2024 kepada Airlangga, bukan mendorong Airlangga menjadi bakal capres.

“Amanat munas bukan mencalonkan Airlangga sebagai capres. Amanat munas itu memberikan kewenangan Airlangga untuk menentukan capres atau cawapresnya. Bahwa kader-kader ada yang menginginkan dia ya wajar lah, tetapi kan kita harus melihat kondisi lapangan,” beber Mekeng.

Lebih lanjut dia menjelaskan, Golkar saat ini melihat situasi dan kondisi politik terakhir. Tujuannya untuk mencari titik temu dengan parpol lain, di mana harapan besarnya adalah memenangkan Pemilu 2024. Selain itu, DPP juga telah menggelar Rakernas sekitar dua bulan lalu yang memberikan kewenangan bagi Airlangga menentukan langkah terkait penetapan capres-cawapres dari Partai Golkar.

Wakil Ketua Umum Pratama Partai Golkar, Nurdin Halid juga meluruskan anggapan keliru bahwa hasil munas diebut memberi mandat kepada Airlangga sebagai capres. Dia menyatakan, hasil keputusan munas yang benar adalah memberikan mandat kepada ketua umum untuk menentukan capres yang diusung dan arah koalisi partai.

“Putusannya adalah, munas memberi mandat kepada Airlangga sebagai ketua umum, untuk mencari capres maupun cawapres yang akan diusung sekaligus arah koalisi Golkar di pemilu 2024,” tukasnya.

Terlepas adanya manuver-manuver di internal yang berupaya menggoyang posisinya sebagai ketua umum, jika keputusan mendukung Prabowo Subianto sebagai capres sesuai “arahan Pak Lurah”, maka posisi Airlangga Hartarto akan tetap aman hingga munas berikutnya. Hanya waktu yang bisa menjawab, apakah strategi langkah sunyi Partai Golkar saat mendukung Prabowo demi menyelamatkan dan menaikkan daya tawar politik di 2024 akan berbuah manis atau tidak.