Kasus Jerinx yang Mengingatkan Kisah Oliver Wendell Holmes dan Semmelweis

 

JAKARTA — Apa yang menimpa Jerinx terkait tudingan I Gede Suteja, Ketua IDI Provinsi Bali. Mengingatkan sejenak kisah seorang Oliver Wendell Holmes. Perbedaannya, yang satu itu musisi dan nama terakhir yang disebut adalah seorang dokter yang cukup termahsyur pada jamannya, abad ke-19. Namun pada intinya adalah, bagaimana jikalau ternyata permasalahan terbesar justru ada pada diri kita sendiri yang memang sejatinya bermasalah? namun kepalang tanggung tak bisa menerimanya. Entah itu dikarenakan berbagai alasan.

Apa yang dialami Holmes menjadi tamparan dunia medis saat itu, dimana kebanyakan para dokter dan insititusi lainnya justru mengecam hingga mengucilkan dirinya atas apa yang diperbuatnya lewat sebuah jurnal penelitian. Padahal apa yang diklaimnya sekedar mengingatkan: bahwa ada yang salah dengan mereka (dokter dan bidan) dalam menangani puerperal fever, demam nifas.

Wabah Demam Nifas

Selama di abad ke-19 belahan benua Eropa dan Amerika saat itu dilanda wabah puerperal fever, demam nifas yang mengakibatkan ribuan wanita muda mengalami kematian. Demam tersebut hinggap dalam waktu tiga hari setelah proses persalinan. Menyerang dengan cepat yang mengakibatkan sakit perut luar biasa, demam, disertai melemahnya tubuh korban sampai tibalah ajal menjemput. Salah satu korban yang tercatat sejarah adalah Jane Seymour, istri ketiga dari King Henry VIII. Jane meninggal setelah dua minggu kelahiran sang anak yang dikenal nantinya sebagai Edward VI of England.

Sakin menakutkannya wabah tersebut, medical encyclopedia bahkan menggambarkan bagaimana para wanita saat itu lebih baik melakukan proses persalinan di selokan ketimbang di rumah sakit.

Nama besar Holmes sebenarnya populer, karena ia juga dikenal lewat karya-karya sastra dan tulisannya selain berprofesi sebagai dokter. Namun publik justru lebih mengenal nama Ignaz Philipp Semmelweis, yang mempopulerkan lewat sebuah metode SOP (standard operating procedure) mencuci tangan pasca para ahli medis melakukan tindakan sebelumnya. Sejatinya, Holmes-lah sosok pertama yang menginisiasi metode tersebut sebelum Semmeleweis.

Setelah sempat mengenyam sekolah kedokteran di Paris, Holmes kembali pulang ke Amerika Serikat dan meraih gelar dokter dari Harvard di tahun 1836. Selama 12 tahun ia menjalankan praktek pada kalangan publik tertentu dan tidak terlalu luas. Rasa penasarannya membesar ketika ia mendengar adanya kematian di kalangan dokter satu minggu pasca menangani mayat korban demam nifas. Holmes segera menginvestigasi dan menelisik sebuah jurnal “The Congagiousness of Puerperal Fever”, sebelum nantinya lahir sebuah jurnal yang menjelaskan penyebab tingginya angka kematian para wanita pasca persalinan lewat “The New England Quarterly Journal of Medicine” di tahun 1843.

Tuding-menuding

Ibarat pepatah Jawa kuno bilang, saat kita menunjukkan jari telunjuk ini kepada orang lain diluar sana, disaat itu pula keempat jari lainnya yang dalam keadaan mengepal itu mengarah kepada diri kita. Singkatnya, sebelum kita menuding sesuatu hal menjadi kesalahan-tanggung jawab orang lain, ada baiknya lihatlah diri kita sendiri dahulu. Mungkin itu istilah yang bisa menggambarkan situasi kala wabah demam nifas. Lewat dua jurnal penelitian disertai investigasi kedua sosok: Oliver Wendell Holmes dan Ignaz Philipp Semmelweis, berbagai kalangan dokter dan ahli medis di belahan Amerika dan Eropa geram bukan kepalang. Mereka tak bisa menerima bahwa penyebab kematian korban demam nifas adalah diri mereka sendiri, para dokter beserta ahli medis (bidan) yang membantu proses persalinan.

Para dokter pada belahan Amerika dan Eropa justru menyalahkan bagaimana kondisi rumah sakit yang tak memiliki ventilasi, membludaknya para pasien, hingga menuding bahwa kondisi para pasien tersebut-lah yang memiliki masalah sebelumnya.

Holmes berkebalikan, ia menelusuri permasalahan ini dengan kepala terbuka sekalipun ia juga seorang dokter, ia melepaskan label itu demi mencari akar dari semua ini. Pertama, Holmes yakin bahwa para dokter-bidan memiliki kebiasaan yang tidak sehat, dan mereka-lah yang paling garda terdepan yang berhadapan dengan para pasien-pasien itu sebelum mereka dilanda demam tinggi. Kedua, penyakit itu berkembang secara misterius. Pada satu rumah sakit, seorang bidan berhasil melahirkan 30 anak dalam sebulan namun diiringi tingkat kematian sebanyak 16 ribu akibat demam. Pada rumah sakit yang sama, dengan periode yang sama pula, terdapat 25 bidan lainnya berhasil melakukan tindakan persalinan tanpa adanya kasus demam pada pasien mereka.

Hingga suatu waktu Holmes mendapatkan bukti yang cukup meyakinkan untuk alasannya yang pertama: bahwa terjadi hal yang tak diperhatikan oleh para garda terdepan perihal kondisi kebersihan mereka. Kasus demam nifas menular sangat cepat akibat tindakan mereka sendiri yang tak pernah mencuci tangan dan membersihkan tubuh secara higienis pasca melakukan tindakan. Digambarkan bagaimana kasus dokter Campbell dari Edinburgh pada bulan Oktober 1821, bahwasanya sang dokter melakukan tindakan autopsi jenazah korban demam nifas, kemudian ia memasukkan salah satu jeroan otot panggul jenazah (pelvic viscera) ke ruang kelas. Dilanjutkan malam harinya melakukan tindakan persalinan tanpa mengganti pakaian dan mencuci bersih tangannya; kemudian pasien ini meninggal. Esok paginya, ia melakukan hal yang sama, dan berakhir dengan kematian pasien berikutnya.

Kedua sosok itu terkucilkan. Terutama seorang Oliver Wendell Holmes. Dirinya dianggap gila dan menjadi public enemy dari kalangan satu profesinya. Setelah 30 tahun berikutnya, rekomendasi dari seorang Oliver Wendell Holmes diberlakukan. Seperti mencuci tangan secara higienis dan mengganti semua yang sebelumnya dikenakan ahli medis ketika ingin melakukan tindakan pembedahan selanjutnya. Dengan interval selama 24 jam.

Hari ini apa yang dikira gila dan dikecam oleh dunianya sendiri, berhasil terbukti bahwa seringkali permasalahan terbesar itu berasal dari diri kita sendiri. Dalam hal ini para ahli medis dalam menangani wabah demam nifas.

Berpikir skeptis dan kritis

Salah satu fundamental logika berpikir para ilmuwan yang menjadikan istilah ‘saintifik’ sebagai acuan adalah berpikir skeptis dan kritis. Bilamana Richard Dawkins mampu membalas pertanyaan audiens yang kontra dengan teori evolusinya dengan sanggahan, “What if you were wrong?,” bagaimana bila kamu salah?.

Hal itu bisa berlaku sama ketika Jerinx mempertanyakan kenapa IDI haruslah manut begitu saja dengan organisasi kesehatan yang sebenarnya sudah ‘tidak sehat’ sejak dulu. Bagaimana bila apa yang dilakukan IDI salah? ditambah, delik aduan yang diwakilkan oleh dokter I Gede Sutedja dalam hal ini sangatlah irelevan dengan apa yang tertuang dalam UU ITE Pasal 28 ayat 2. Dimana kritikan Jerinx tak bisa dibalas dengan delik aduan karena ia menyasar organisasi, bukanlah individu. Ditambah tak ada mengandung unsur SARA.

Dalam artikel ‘Bernas’: Bagaimana kita harus berdiri di satu sisi soal pemenjaraan Jerinx

Jikalau merasa terhina, seharusnya dokter Sutedja bersikap bijak. Apa yang dilontarkan Jerinx sekalipun frontal, pasti beralasan. Memulai pertanyaan ‘kenapa’ Jerinx sebegitu berani mengorbankan kehidupannya lebih penting ketimbang ‘apa’ yang dikritiknya. Karena kritikannya sangatlah beralasan bila kita menapak tilas kembali bagaimana kontroversi W.H.O penuh skandal miring.

Pertanyaannya, bagaimana bila ternyata permasalahan itu terdapat kepada pihak yang dikritisi oleh Jerinx? persis bagaimana kasus Oliver Wendell Holmes dan Semmelweis yang justru dituding dan dikecam ketika mereka mengingatkan bahwa barisan mereka-lah yang menjadi penyebab permasalahan wabah yang juga dikenal sebagai The Black Death of Child Birth.

Dalam laporan WHO per tanggal 31 Desember 2017, terdapat lebih dari 2 miliar dolar general fund budget WHO dari insitusi semacam World Bank atau Europe Union (Uni Eropa). Ketakuan pengaruh Bill Gates yang sering diteriakkan Jerinx bukanlah konspirasi bila kita melihat fakta dan laporan keuangan WHO.

Bill and Melinda Gates Foundation dengan institusinya, GAVI dan inisiasi untuk melawan AIDS, TBC dan Malaria, ketiganya telah menyumbangkan uang sebanyak 474 juta dollar kepada WHO. Yayasannya sendiri menyapu bersih sebagai penyumbang terbesar dengan total $324,654,317 kepada WHO.

F. William Engdahl menelisik bagaimana keuntungan bisnis sebesar 7.5 hingga 10 miliar dolar AS telah masuk ke kantong perusahaan farmasi ketika isu flu babi menerjang belahan Eropa. Dokter Osterhaus yang memimpin ESWI (European Scientific Working Group), adalah lembaga yang menjadi titik penting penjembatan antara WHO di Jenewa, Institut Robert Koch di Berlin, dan Universitas Connecticut di Amerika Serikat. Tugas ESWI yang merekomendasikan vaksin tertentu terbukti telah mengarahkan kepada kepentingan korporasi farmasi global.

The most significant thing about the ESWI is that its work is entirely financed by the same pharmaceutical laboratories that are making millions thanks to the pandemic emergency, while it is the pronouncements made by the WHO that compel the governments of the whole world to buy and to stock the vaccines. The ESWI receives funding from the manufacturers and distributors of the H1N1 vaccines, such as Baxter Vaccines, MedImmune, GlaxoSmithKline, Sanofi Pasteur and others, including Novartis, who produces the vaccine, and the distributor of Tamiflu, Hofmann-La Roche.

Apa yang digambarkan dr. Pascal Sagre dalam globalresearch.ca, bagaimana pengaruh SAGE (Strategic Advisory Group of Expertise) sebagai penasihat WHO dalam mengambil kebijakan memang dipenuhi para dokter yang sangat dekat dengan perusahaan farmasi itu nyata. Anggota SAGE terdapat peran profesor Daniel Floret dan beberapa ahli medis Perancis yang tergabung dalam Agence de Médecine Préventive. Mereka juga anggota dari Sanofi Pasteurlaboratory dari perusahaan Sanofi Pasteur Perancis.

Kecurigaan semakin tercium bagaimana sektor pendanaan WHO dari public private partnership terdapat nama-nama perusahaan farmasi global semacam: Gilead Science, Sanofi Pasteur, Merck, hingga Rockefeller Foundation. Tak bisa dipungkiri, dimana uang ditaruh, disitu pula para korporasi menginginkan sebuah pengaruh yang menguntungkan mereka. Sekalipun disebutnya sebagai ‘dana sumbangan’ (hibah). Tak ada makan siang gratis, bagi mereka para korporasi-industrialis.

Bahkan kritikan dari Alison Katz, peneliti yang menghabiskan 17 tahun dedikasinya bersama WHO sudah lebih dulu mengirimkan surat terbuka pada tahun 2007 kepada Margaret Chan, sosok yang menjabat sebelum kehadiran Tedros Adhanom. Bagaimana ia mengkritik terlalu banyak peran WHO yang jauh dari dunia ‘sains’ dan lebih mengacu kepada kebutuhan bisnis.

[blokcquote footer]the WHO has become a victim of neo-liberal globalisation”. She denounced “the commercialisation of science and the close ties between the industry and academic institutions” and “corporatist” private science.[footer]

Dr. Wolfgang Wodarg, president of the Health Commission of the Council of Europe. Seorang Epidemiologis, dimana ia juga anggota dari parlemen pemerintahan Jerman, juga berkomentar miring saat wabah flu babi dianggapnya sebuah skandal. Lewat Der Spiegel tak sungkan berucap “one of the greatest medical scandals of the century”.

Bila merasa terhina, seharusnya dokter Sutedja melihat hasil investigasi yang dilansir tempo.co bagaimana sejumlah 2,000 rekan se-profesinya menerima suap dari PT. Interbat pada kisaran tahun 2013 hingga 2015. Karena adanya hasil investigasi ini sudah mendegradasikan profesi seorang dokter di mata publik. Kita juga merasa terhina.

Kita mengagumi dan menghormati profesi mulia para ahli medis sebagai garda terdepan dalam menghadapi wabah pandemi. Kita juga harus lawan semua kebohongan yang seperti meniadakan peran para garda terdepan. Namun janganlah lupa, mereka juga manusia. Sesosok homo sapien yang penuh kesalahan.

Permasalahannya, maukah kita bersama menerapkan hukum disertai keadilan. Ataukah menggunakan label otoritas sebagai alat acuan paling benar dan menerapkan ipse dixit ala Phytagoras? bahwa mereka yang dianggap ‘bukanlah ahlinya’ tak berhak melontarkan kritikan sekalipun dimodali berbagai sumber resmi. Ketika runutan fakta digiring seakan menjadi sebuah cerita bualan yang disebut konspirasi, maka suara-suara dari jerinx-jerinx berikutnya akan terus bermunculan.

Kritikan haruslah dijawab dengan pembuktian, bukan lewat delik aduan. Berbicara kacung atau bukan, biarlah publik yang menilai seiring berjalannya waktu dan siapa nantinya yang diuntungkan lewat kontroversi seorang musisi band punk rock, Jerinx.