JAKARTA - Pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber penyediaan listrik dapat menjadi salah satu strategi mencapai swasembada energi Indonesia. Melalui arahan Presiden Prabowo pada Pidato Pelantikan 20 Oktober 2024, Indonesia akan berfokus pada pengelolaan energi terbarukan untuk mencapai swasembada energi sesuai dengan Asta Cita. Arahan ini menjadi acuan utama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, khususnya di bidang ketenagalistrikan.
Menurut Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan di Indonesia sebesar mencapai 3.686 GW. Bahkan kajian IESR (2022) mengindikasikan adanya potensi energi terbarukan yang lebih besar, mencapai lebih dari 7.800 GW, dengan lebih dari 75 persen merupakan sumber energi surya. Namun, besarnya potensi energi terbarukan yang ada belum termanfaatkan secara optimal, khususnya di daerah pedesaan.
Walaupun rasio elektrifikasi telah mendekati 100 persen, namun saat ini masih terdapat beberapa tantangan, antara lain kualitas layanan ketenagalistrikan yang tidak merata antar wilayah, ketergantungan terhadap energi fosil yang tinggi, rendahnya pemanfaatan sumber energi terbarukan setempat, serta jauhnya jarak antara sumber daya energi terbarukan dengan pusat beban/ permintaan energi listrik (spatial mismatch).
Data dari KESDM hingga November 2024, menunjukan masih ada sekitar 86 desa yang belum memiliki akses listrik. Maka dari itu, perlu didorong pembangunan pembangkit listrik terbarukan sesuai potensi energi setempat dan dedieselisasi, pembangunan jaringan distribusi dan terisolasi serta pengembangan listrik pedesaan.
Penggunaan listrik terbarukan juga dapat mendukung penurunan impor energi dan mendukung tercapainya target stok infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya pemenuhan kebutuhan listrik per kapita dapat menunjukkan majunya perekonomian suatu negara. Untuk meningkatkan akses listrik terbarukan, Indonesia perlu mendorong pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dan teknologi digital yang dapat mendukung peningkatan konektivitas dan integrasi listrik terbarukan bernilai tambah.
Kebutuhan pembiayaan infrastruktur ketenagalistrikan nasional, termasuk pembangunan infrastruktur listrik di pedesaan sangat besar, sehingga Pemerintah terus mendorong pelibatan investasi dari sektor swasta.
Deputi Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/Bappenas, Ervan Maksum mengatakan bahwa untuk mencapai target transisi energi tidak bisa hanya mengandalkan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) saja.
Transisi energi di Indonesia memerlukan pembiayaan alternatif dari sumber-sumber non-pemerintah, dan pelibatan modal swasta untuk mencapai target-target di sektor ketenagalistrikan. Untuk itu pemerintah menyiapkan kerangka regulasi dan kebijakan untuk memobilisasi pendanaan dan investasi swasta tersebut.
“Kolaborasi dengan berbagai perusahaan swasta dan lembaga pemilik modal sangat diperlukan. Salah satu inisiatif yang dapat ditawarkan kepada perusahaan adalah penggunaan dana environment, sustainability and governance (ESG) yang diarahkan untuk mendukung proyek energi terbarukan di desa, sebagai kewajiban perusahaan untuk menurunkan emisi karbon dari aktivitas bisnis yang dilakukan,” tegas Ervan, dalam keterangannya, Minggu 24 November.
Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Taufiq Hidayat Putra menyatakan bahwa perencanaan sektor ketenagalistrikan di Indonesia mencakup akses listrik yang berkualitas, tidak hanya ke industri, tapi juga untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama di desa.
“Pemerintah Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan harus bahu-membahu untuk mencapai transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Kita harus mendukung saudara-saudari kita yang berada di desa khususnya untuk menikmati listrik yang bersih, aman dan terjangkau dengan potensi energi terbarukan di daerah masing-masing. Dengan listrik yang berkualitas, masyarakat desa bisa menerima berbagai manfaat di berbagai bidang, salah satunya modernisasi dalam aktivitas pertanian atau yang sering disebut dengan electrifying agriculture. Sedangkan di desa nelayan, akses listrik berkualitas memungkinkan penyediaan cold storage untuk menyimpan hasil tangkapan ikan segar lebih lama," jelasnya.
"Untuk menghasilkan listrik yang handal di desa, tantangan terkait spatial mismatch antara lokasi sumber energi terbarukan listrik dengan lokasi pusat industri dan kegiatan ekonomi, serta masyarakat, perlu dijawab melalui perencanaan yang holistik, integratif, dan komprehensif dengan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi listrik yang terintegrasi dengan rencana pembangunan pembangkit listrik terbarukan," kata Taufiq.
BACA JUGA:
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menegaskan Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan peta jalan transisi energi dengan pilihan biaya yang paling murah, menjamin kehandalan pasokan yang optimal, dan berkeadilan. Menurut Fabby, lewat transisi energi terbarukan Indonesia dapat meningkatkan ambisi penurunan emisi GRK yang selaras dengan target 1,5 derajat celcius yang disasar oleh Persetujuan Paris.
"Penurunan emisi menjadi hal sangat penting bagi Indonesia, karena sebagai negara kepulauan, masyarakat di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) sangat rentan terhadap -dampak yang disebabkan oleh peningkatan suhu bumi. Menyediakan listrik dan handal, terjangkau dan bersih di daerah perdesaan dan 3T sangat dimungkinkan dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat untuk mengganti 3 GW PLT Diesel yang tersebar. Dengan ini selain akses listrik jadi lebih merata, penurunan emisi dan biaya penyediaan tenaga listrik dapat terjadi," kata Fabby.
Di lain sisi, untuk meningkatkan daya tarik bagi investor, Deni Gumilang, Project Lead Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE for SEA) di Indonesia, GIZ Energy Program for Indonesia/ASEAN menggarisbawahi pentingnya pengembangan instrumen policy derisking yang bertujuan untuk memitigasi risiko transaksi, mengingat tantangan dalam kebijakan dan regulasi masih dianggap sebagai hambatan utama dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, instrumen mitigasi risiko keuangan juga perlu dikembangkan secara paralel untuk menciptakan momentum yang memungkinkan optimalisasi penyaluran pendanaan dari para investor, guna mendorong pertumbuhan pasar energi terbarukan.
"Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan yang menarik minat banyak investor. Namun, tingginya risiko dalam proyek-proyek energi terbarukan menjadi hambatan bagi masuknya investasi. Penerapan instrumen-instrumen policy and finance derisking diharapkan dapat membuka peluang implementasi pembiayaan yang real bagi Indonesia," jelas Deni.