Bagikan:

JAKARTA - Dunia saat ini mulai bertransisi dari penggunaan energi fosil menuju energi yang lebih ramah lingkungan. Tak ketinggalan, Indonesia juga berkomitmen menjalankan transisi energi dengan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Perubahan ini membuat perusahaan-perusahaan energi yang biasanya mengandalkan minyak dan gas bumi (migas), mereka harus mulai beradaptasi dengan bisnis rendah karbon.

Senior Vice President (SVP) Business Development PT Pertamina Wisnu Medan Santoso mengatakan, melihat kondisi tersebut, PT Pertamina pun mengubah citra perusahaan dari yang awalnya oil and gas company menjadi energy company sebagai upaya menjawab tantangan perkembangan zaman saat ini.

“Itu solusinya, tidak bisa hanya dari satu dimensi misalnya hanya minyak atau gas, tapi memang multidimensi. Jadi solusi untuk menjawabnya akan melibatkan banyak energi yang lain,” ujarnya dalam sesi diskusi di Sarinah, Jakarta, Selasa, 10 September.

Proses transisi energi ini dilakukan salah satunya melalui dekarbonisasi. Wisnu mengatakan setidaknya ada enam peluang bisnis baru yang bermunculan pada proses dekarbonisasi.

Pertama, sambung Wisnu, peluang pada bisnis sektor biofuel. Menurut Wisnu, ceruk bisnis baru ini bakal memegang peranan besar bagi PT Pertamina.

“Biofuel akan sangat besar perannya ke depan, semua yang bersifat bio based,” tuturnya.

Kedua, sambung Wisnu, peluang bisnis pembangkit listrik yang berbasis pada energi terbarukan, termasuk panas bumi. Indonesia merupakan negara dengan potensi geothermal paling besar di dunia.

“Selain geothermal, banyak juga potensi lain yang bisa kita kembangkan seperti solar (surya) dan wind (angin),” ucapnya.

Ketiga, lanjut Wisnu, peluang bisnis yang memiliki potensi besar ke depannya yakni penangkapan dan injeksi karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS). Peluang bisnis ini tak lepas dari komitmen pemerintahan seluruh dunia untuk menjaga temperatur bumi.

Adapun komitemen pemerintah seluruh dunia ini tertuang dalam Paris Agreement. Dalam perjanjuan tersebut negara-negara berkomitmen untuk menjaga supaya kenaikan temperatur bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.

Dengan demikian, CCS memegang peranan penting dengan menangkap karbon dari udara, lalu menyimpannya di dalam reservoar.

Dia bilang, hal ini menjadi peluang bisnis yang cukup besar.

“Indonesia punya potensi reservoar yang sangat banyak sehingga bisa menjadi tempat penyimpanan yang sangat baik,” jelas Wisnu.

Keempat, sambung Wisnus, peluang bisnis kendaraan listrik beserta baterainya. Bisnis tersebut, sudah mulai diagresifkan oleh perusahaan pelat merah lainnya, yakni PT PLN.

“Kita lihat juga kemunculan mobil-mobil, terutama EV dari China juga kan sangat agresif akhir-akhir ini,” tuturnya.

Kelima, lanjut Wisnu, peluang bisnis yang berasal dari clean energy atau clean fuel seperti hidrogen, amonia, hingga syntetic fuel. Menurut Wisnu, bisnis clean fuel tersebut bakal menjadi tren di kemudian hari.

Kata dia, pemanfaatan bahan bakar bersih saat ini memang sudah diterapkan oleh beberapa negara. Misalnya, Jepang dan Korea yang mengandalkan pembangkit listrik mereka yang menggunakan bahan bakar berbasis hidrogen.

“Misalnya pembangkit gas, mereka bakar bersama-sama dengan hidrogen. Jadi, mereka ada mandat untuk pelan-pelan menaikkan porsi hidrogen supaya jejak karbon berkurang. Kemudian misal pembangkit batu bara pelan-pelan disuplemen oleh biomassa yang sifatnya lebih renewable,” jelasnya.

Terakhir, sambung Wisnus, peluang bisnis perdagangan karbon. Menurut dia, kredit karbon punya potensi besar ke depannya mengingat tidak semua negara bisa melakukan dekarbonisasi.

“Kadang ada negara yang melakukan dekarbonisasinya bisa lebih murah dan efisien, carbon creditnya bisa diperdagangkan ke negara industri yang mungkin kalau mereka lakukan itu bisa lebih mahal,” ucapnya.