Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengakui bahwa Indonesia masih ketergantungan impor untuk bahan baku obat (BBO) nasional. Tercatat, selama 2018-2022 nilai impor untuk BBO ini terus mengalami kenaikan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin Reni Yanita mengatakan, impor tertinggi untuk BBO nasional terjadi pada 2022, yakni sebanyak 35.890 ton.

"Jadi, dari 2018 sampai dengan 2023 data impor kami menunjukkan tahun 2018 ke 2019 (terjadi) penurunan. Namun, kenaikan cukup tinggi di 2022. Di 2022, impor BBO secara keseluruhan mencapai 35.890 ton dengan nilai sebesar 509 juta dolar AS," ujar Reni dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 9 Juli.

Berdasarkan data yang dipaparkan, tren importasi BBO terus meningkat selama lima tahun terakhir atau sejak 2018 hingga 2022. Rinciannya, pada 2018 total impor BBO mencapai 27.304 ton dengan nilai sebesar 332 juta dolar AS, di 2019 mengalami penurunan menjadi 27.050 ton atau setara 294 juta dolar AS.

Kemudian, di 2020 kembali melonjak di angka 29.429 ton atau senilai 312 juta dolar AS. Lalu, di 2021 meningkat lagi menjadi 34.770 ton dengan total nilai 443 juta dolar AS. Sementara di 2022 mencapai angka impor tertinggi, yakni 35.890 ton atau senilai 509 juta dolar AS.

"Kemudian di 2023 ini terkoreksi kembali penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jadi, selama lima tahun terakhir memang tren importasi BBO terus meningkat," katanya.

Reni menambahkan, ada tiga negara utama asal impor BBO nasional pada 2022 yakni, China, India dan Amerika Serikat.

"Adapun top three negara asal impor tahun 2022 dari China 45 persen, kemudian India 27 persen dan Amerika Serikat 8 persen. Pada 2022, proporsi negara asal impor tertinggi ditempati oleh China," tuturnya.

Menurut Reni, ada tiga tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan teknologi dan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) untuk pengembangan BBO tersebut.

Pertama, teknologi dan route of synthesis produksi BBO menentukan secara signifikan desain fasilitas produksi BBO. "Meskipun hasil yang sama dengan jalur sintesa yang berbeda, akan membutuhkan desain dan fasilitas yang berbeda," jelas Reni.

Kedua, proses produksi dan pengembangan BBO membutuhkan kompetensi SDM yang berbeda. Industri farmasi formulasi membutuhkan kompetensi ahli farmasi, tetapi BBO membutuhkan kolaborasi ahli kimia (Chemist), teknik kimia (Chemical Engineer) dan Farmasi (Pharmacist).

"Waste sebagai side product pada industri BBO, outputnya lebih besar dari core product BBO. Sehingga, membutuhkan penanganan khusus dengan biaya tinggi," ungkapnya.