Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah terus mendorong substitusi bahan bakar fosil dengan biodiesel sawit, green fuel lainnya, dan petrokimia dengan oleokimia berbasis sawit. Hal ini merupakan strategi yang akan membuat industri sawit lebih layak di tengah krisis global.

Direktur Eksekutif Setara Institute Piter Abdullah mengungkapkan, industri sawit berkelanjutan bertumpu pada kesungguhan dan keseriusan dalam menjaga lingkungan agar tetap mampu menopang indutri sawit.

Menurut Piter, pemerintah juga harus memanfaatkan peluang ekonomi kawasan untuk semakin mendorong tercapainya industri sawit berkelanjutan. "Kondisi pasar dan harga CPO yang saat ini cukup tinggi seharusnya bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tersebut," katanya, Jumat, 4 November.

Selain itu, kata Piter, peluang itu juga harus dimanfaatkan untuk menyejahterakan petani sawit kecil.

Hal itu bisa dilakukan dengan menjaga harga tandan buah segar (TBS) sawit produksi petani. "Keberpihakan kepada petani kecil ditunjukkan dengan upaya menjaga pasar agar petani mendapatkan harga jual yang menguntungkan," ujarnya.

Pemerintah juga diminta untuk bisa membantu petani kecil melakukan peremajaan tanaman sawit dengan dana yang sudah terhimpun. "Pemerintah juga hendaknya membantu petani kecil melakukan peremajaan atas kebun-kebun mereka memanfaatkan dana yang dihimpun memang untuk itu," pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mendorong substitusi, bahan bakar fosil dengan energi hijau seperti dari sawit.

“Upaya substitusi bahan bakar fosil dengan biodiesel sawit, green fuel lainnya, dan petrokimia dengan oleokimia berbasis sawit merupakan strategi yang akan membuat industri sawit lebih layak di tengah krisis. Hingga tahun 2022, Indonesia masih menerapkan B30. Saat ini, Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel lebih rendah daripada HIP Solar," kata Menko Airlangga beberapa waktu lalu.

Produk Biodiesel Terbukti Diminati Masyarakat

Pengamat Energi Komaidi Notonegoro mengatakan, saat ini telah melakukan uji jalan (road test) penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel dengan campuran 40 persen atau disebut B40 pada kendaraan bermesin diesel. "Karena serapannya terus naik,” kata Komaidi.

Menurut dia, produk biodiesel terbukti diminati oleh masyarakat. Sehingga, lanjut Komaidi, terus dilakukan inovasi baru seperti B40 ini.

Selain itu, kata dia, pemberlakuan B40 ini merupakan salah satu upaya strategis negara untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), sekaligus mengimplementasikan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT).

Komaidi mengatakan Pertamina juga sedang mengembangkan Biogasoline. Untuk itu, Komaidi mengingatkan, ketika nantinya produk ini sudah digunakan oleh masyarakat, harus dijaga ketersediaannya.

"Perlu diperhatikan secara keberlanjutan pasokan, kan kelapa sawit dia kan trade off dengan kebutuhan lain misalnya minyak goreng, dan produk turunan lainnya," kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini.

Contohnya, saat ini Pertamina tengah mengkaji produk biogasoline. Namun, pertamina meminta agar ada kepastian keberlanjutan suplai minyak sawitnya atau Crude Palm Oil (CPO).

Namun, Komaidi juga menyarankan agar pemerintah juga bisa mencari alternatif energi hijau lain, sehingga tidak berat ke sawit saja.

"Juga perlu menyeimbangkan dengan potensi lain, sehingga mungkin pemerintah fokusnya jangan hanya berat ke kelapa sawit, karena kebutuhan kelapa sawit bukan cuma untuk biodiesel, tetapi ada kebutuhan lain. Harus berpikir untuk mengembangkan EBT yang lain, misalnya panas bumi, Hanya mengembangkan lain," tandas Komaidi.