JAKARTA - Perajin tahu dan tempe mogok produksi dan dagang selama tiga hari, sejak dua hari lalu. Imbasnya, pasokan tahu dan tempe mentah pun menghilang dari pasaran. Para pengusaha warung tegal (warteg) juga terkena dampaknya yakni penurunan omzet sebesar 20 persen per hari.
Seperti diketahui, perajin tahu dan tempe di pulau Jawa melakukan mogok produksi dan dagang yang diselenggarakan pada 21, 22 dan 23 Februari. Aksi tersebut merupakan bentuk protes lantaran harga kedelai yang terus meningkat.
Ketua Koordinator Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni menjelaskan bahwa para pengusaha warteg kehilangan omzet sebesar 20 persen. Hal tersebut lantaran warteg sudah tak menjual menu tahu dan tempe.
"Penurunan omzet sebesar 20 persen per hari. Karena dampaknya (dari perajin mogok produksi), menu tahu dan tempe enggak dijual," katanya saat dihubungi VOI, dikutip Rabu, 23 Februari.
Mukroni menjelaskan pelanggan warteg umumnya adalah masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke bawah. Di masa pandemi COVID-19 ini, masyarakat mengencangkan ikat pinggang dengan mengganti menu daging dengan tahu dan tempe.
"Karena tahu dan tempe ini adalah barang konsumsi yang sangat diperlukan, dimana kondisi daya beli masyarakat (di masa pandemi) mengencangkan ikat pinggang, mereka yang tidak mampu beli lauk daging dan ayam, mereka mengganti dengan tahu dan tempe," ucapnya.
Lebih lanjut, Mukroni menjelaskan, biasanya di setiap warteg menjual 10 menu yang berbahan dasar tahu dan tempe. Misalnya, tempe orek, tempe pare hingga tahu isi.
"Tempe tahu hilang, juga menu yang hilang di warteg orek tempe; tempe pare; tempe pokcay; tempe goreng tepung; tempe tahu sayur; tempe tahu bacem; tahu usus; tahu Bandung, tahu sawi putih; dan tahu isi," tuturnya.
Perajin tahu tempe mogok produksi tiga hari
Naiknya harga kacang kedelai impor sebagai bahan baku utama pembuatan tahu dan tempe, memicu aksi mogok produksi dan dagang perajin tahu dan tempe di wilayah pulau Jawa. Jika harga kedelai tak kunjung mengalami penurunan, perajin bakal menaikkan harga jual tahu dan tempe sebesar 10 hingga 20 persen di pasaran.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syaifuddin bercerita bahwa aksi mogok produksi dan dagang yang bakal diselenggarakan pada 21, 22 dan 23 Februari merupakan ujung dari keresahan yang dialami perajin tahu dan tempe sejak Desember 2021. Keresahan tersebut berangkat dari harga kedelai yang mengalami kenaikan setiap harinya.
Menurut Aip, sebelum memutuskan untuk melakukan aksi mogok produksi, pihaknya telah menjalankan berbagai usulan dari para anggota Gakoptindo. Di antaranya adalah mengadu kepada pemerintah, mengganti bahan baku dengan kedelai lokal hingga akhirnya berujung pada aksi mogok.
"Akhir 2021 Desember itu harga kedelai mulai naik dan naiknya tiap hari. Sehingga kita resah. Jadi beberapa daerah, kabupaten, kelompok (perajin) gimana ini, gimana ini, ada yang usul kita bilang ke pemerintah, ada yang bilang cari kedelai lokal, tapi tidak ada. Atau kita usul pemerintah bantu menaikkan harga (tahu tempe), atau minta subsidi, paling tidak terakhirnya mogok," ucapnya, saat dihubungi VOI, Jumat, 18 Februari.
"Itu sejak Desember 2021. Suara anggota itu saya sampaikan ke pemerintah, namun ternyata dari pemerintah Desember, Januari, sekarang sudah pertengahan Februari action konkret di lapangan tidak ada," sambungnya.
BACA JUGA:
Menurut Aip, jika aksi mogok tersebut tak kunjung membuat harga kedelai mengalami penurunan, maka perajin bakal menaikkan harga jual tahu dan tempe sebesar 10 hingga 20 persen di pasaran.
Karena itu, Aip meminta maaf kepada masyarakat pecinta tahu dan tempe jika harga di pasaran mengalami kenaikan. Ia menekankan, harga terpaksa naik lantaran harga bahan baku mengalami kenaikan.
Aip mengatakan bahwa saat ini harga rata-rata kedelai mencapai Rp11 hingga Rp11.500 per kilogram (Kg) di pulau Jawa. Sementara, harga mencapai Rp12.000 per Kg di Aceh, Kalimantan, atau Sulawesi.
"Kami dari perajin tempe tahu minta maaf kepada masyarakat pecinta tempe tahu karena ini terpaksa, terpaksa dan terpaksa kita ini. Jadi minta maaf," tuturnya.
Contohnya, kata Aip, kenaikan harga tahu dan tempe sebesar 10 hingga 20 persen. Jika sebelumnya harga tempe sepotong telapak tangan atau 500 gram, berkisar Rp5 ribu sampai Rp6 ribu di pasaran. Maka akan mengalami kenaikan 10 atau 20 persen. Artinya dari Rp5 ribu naik menjadi Rp6 ribu.
Di sisi lain, Aip menilai bahwa pemerintah kurang menaruh perhatian kepada perajin tahu dan tempe. Hal ini lantaran masalah kenaikan harga bahan baku yakni kedelai terus terjadi berulang tiap tahun.
"Jadi kalau jujur dan lebih benar lagi kejadian naiknya kedelai ini berulang setiap tahun. Desember tahun lalu, sebelumnya, sebelumnya terus saja setiap tahun seperti ini. Perhatiannya (pemerintah) masih kurang," tuturnya.
"Sudah ada tanggapannya. Tapi solusinya belum jelas," sambungnya.