JAKARTA - PT Sinar Kalbar Raya (PT SKR) menggugat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH) tentang pengurangan luas izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (HTI) dari 38.000 ribu hektare (ha) menjadi 31.721 ha. Gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Kuasa Hukum SKR Damianus H Renjaan mengatakan, SKR menggugat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.75 yang mengurangi luas izin usaha PT SKR dari 38.000 ha menjadi 31.721 ha.
"SKR keberatan dengan perubahan luasan areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi yang bersumber dari permohonan pemerintah daerah, karena PT SKR belum pernah memberikan persetujuan maupun pernyataan tidak keberatan dari pemegang izin dalam bentuk akta notarial untuk pengurangan luas lahan tersebut," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin 14 Januari.
Apalagi, ungkap dia, pengurangan luas areal lahan hutan yang dikelola perseroan bukan untuk kepentingan masyarakat, melainkan dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh salah satu perusahaan perkebunan di daerah tersebut.
"Perkara tersebut sedang memasuki agenda pembuktian, Majelis Hakim telah memerintahkan juru sita pengadilan agar memanggil PT RKP yang memanfaatkan lahan tersebut sebagai areal perkebunan kelapa sawit," jelas Damianus.
Sinar Kalbar Raya (SKR) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pemanfaatan hasil hutan yang memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (HTI). Perseroan telah mendapatkan izin usaha sejak tahun 1993 untuk mengelola sekitar 38.000 hektare (Ha) HTI meliputi Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Landak, yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat. Izin usaha SKR tersebut berlaku selama 60 tahun atau berakhir tahun 2053.
Luas HTI yang dikelola perseroan kemudian menyusut setelah Menteri Kehutanan menerbitkan SK.936 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa sebagian wiLayah izin usaha SKR berubah fungsi dari hutan menjadi non hutan maupun area penggunaan lain (APL). Dalam diktum Ketujuh SK Menteri tersebut dinyatakan bahwa izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang masih berlaku dan berada dalam kawasan hutan yang mengalami perubahan peruntukan masih tetap berlaku hingga izin usaha berakhir.
"Artinya meskipun sebagian wiLayah SKR berubah fungsi kawasan dari hutan menjadi non hutan/APL, namun izin SKR tetap berlaku sampai tahun 2053," ujar Damianus.
BACA JUGA:
Kemudian tahun 2015, Damianus mengatakan, pasca kebakaran hutan, sebagian wilayah izin usaha SKR di Kabupaten Landak telah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK). Kementerian LHK menyurati pemegang izin pemanfaatan hutan, termasuk PT SKR maupun pelaku usaha perkebunan, agar tidak melakukan aktivitas di wilayah gambut tersebut.
Pada 29 April 2016, Gubernur Kalimantan Barat mengirimkan surat kepada Menteri LHK dengan usulan pencabutan izin usaha milik PT SKR dengan alasan PT SKR tidak melaksanakan kewajiban dan meninggalkan lokasi, padahal pada faktanya PT SKR tidak melaksanakan aktivitas usaha di sebagian wilayah kerja di Kabupaten Landak, karena telah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut.
Kemudian pada 6 Februari 2018, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III mengeluarkan hasil telaahan teknis fungsi kawasan hutan terhadap areal perkebunan sawit. PT RKP disebut memiliki izin lokasi perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan dengan perizinan dengan izin usaha milik PT SKR. Berdasarkan temuan itu, Bappeda Kabupaten Landak merekomendasikan PT RKP untuk terlebih dahulu menyelesaikan masalah tumpang tindih izin Lokasinya dengan PT SKR sebelum status areal izin diperoleh.
Damianus menambahkan, pada 10 Desember 2020, Bupati Landak mengirimkan surat permohonan kepada Menteri LHK agar merevisi (addendum) areal kerja izin usaha PT SKR dengan alasan areaL izin usaha PT SKR berada di areal penggunaan lain dan dikuasai oleh masyarakat. Berdasarkan fakta itu, pada 21 Maret 2021, Menteri LHK menerbitkan Keputusan Nomor SK.75 yang mengurangi luas izin usaha PT SKR dari ± 38.000 ha menjadi ± 31.721 ha.