Kacau! Pembangunan Mangkrak, Ratusan Pembeli Apartemen Antasari 45 Tuntut Uang Total Rp164 Miliar Dikembalikan
Foto: Mery Handayani/VOI

Bagikan:

JAKARTA - Pembangunan Apartemen Antasari 45 mangkrak bertahun-tahun. Padahal pembangunan apartemen tersebut dijanjikan rampung pada Oktober 2017. Karena itu, sebanyak 210 pembeli menuntut pengembalian uang pembelian sekitar Rp164 miliar.

Para pembeli merasa tertipu dan dirugikan karena PT Prospek Duta Sukses (PDS) selaku pengembang, tidak juga menyelesaikan pembangunan apartemen sesuai yang dijanjikan. Sampai dengan 2022, apartemen yang berlokasi di Jl. Pangeran Antasari No. 45, Cilandak, Jakarta Selatan ini hanya berbentuk lima lantai basement.

Potensi total kerugian yang dialami seluruh konsumen mencapai Rp591,9 miliar. Angka kerugian ini berasal dari seluruh pembayaran yang sudah dibayarkan 775 pembeli untuk 923 unit kepada PT PDS, selaku pengembang proyek Apartemen 45 Antasari.

Salah satu pembeli yang mewakili paguyuban Apartemen 45 Antasari, Benyamin Wijaya mengatakan ratusan pembeli apartemen menolak perjanjian damai dari PT PDS. Sebab, perjanjian damai tersebut justru merugikan konsumen.

"Isi perjanjian damai justru merugikan konsumen. Jika pembangunan lanjut, konsumen diminta tetap melakukan pembayaran. Tapi kan kalau pun kami bayar, jaminannya apa? Bangunannya juga enggak selesai. Sebaliknya kalau tidak bayar, uang yang telah disetorkan justru hangus," katanya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu, 19 Januari.

Karena itu, Benyamin mengatakan paguyuban konsumen pun melaporkan PT PDS ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan atau perlindungan konsumen dan atau pencucian uang dengan nomor laporan LP/1659/III/YAN/2.5/2020/SPKT PMJ tanggal 11 Agustus 2020.

"Kamis kami akan follow up laporan tersebut ke Polda Metro Jaya," ucapnya.

Kejanggalan kasus Apartemen 45 Antasari

Benyamin mengatakan pihaknya juga menemukan sejumlah kejanggalan. Pertama, PT PDS selaku pengembang menjual Apartemen 45 Antasari belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada 2014.

Kedua, PT PDS tidak bisa menunjukkan bukti mampu menyelesaikan pembangunan. Sampai saat ini, PT PDS tidak bisa menunjukkan dokumen finansial seperti bank guarantee, uang suntikan modal, dan bukti lainnya yang bisa membuktikan kemampuan mereka dalam menyelesaikan proyek Apartemen 45 Antasari.

Ketiga, pengembang (PT PDS) sudah mengantongi uang penjualan Apartemen 45 Antasari sejumlah Rp591,9 miliar ditambah pinjaman sebesar 25 juta dolar AS dari kreditor asing Ultimate Idea Limited (UIL).

"Tapi pengembang tidak juga mampu melanjutkan proses pembangunan, bahkan tidak mampu membayar Eko Aji Saputra yang mengajukan permohonan PKPU terhadap PT. PDS dengan hanya memiliki utang senilai Rp2,2 miliar," ucapnya.

Keempat, proses PKPU kepada PT PDS berakhir dengan keadaan pailit terhadap PT PDS. Proses pailit menghasilkan Perjanjian Perdamaian. Namun, perjanjian perdamaian ini diduga melanggar sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.

"Dalam Perjanjian Perdamaian, pembeli hanya diberi dua opsi. Pertama, melanjutkan pembayaran, namun tak ada jaminan penyelesaian pembangunan. Kedua menolak melanjutkan pembayaran, tapi pengembang tidak akan mengembalikan uang yang telah dibayarkan pembeli sebelum investor membeli saham PT. PDS dari pemegang saham sebelumnya," ucapnya.

Padahal, menurut PP No 12/2021 Pasal 22h menyebutkan, pengembang harus mengembalikan seluruh uang dari pembeli apabila pengembang gagal menyelesaikan pembangunan.

Kelima, investor baru dari PT PDS yaitu PT Indonesian Paradise Property Tbk (PT INPP) hanya membeli saham (secara langsung dan tidak langsung) PT PDS senilai total Rp1 juta untuk seluruh 78,800 lembar saham yang telah dikeluarkan oleh PT PDS.

PT INPP juga sudah menyatakan masih membutuhkan uang sejumlah Rp400 miliar untuk melanjutkan 3 proyek properti di tahun 2022 termasuk Antasari 45. Sementara, nilai proyek Antasari 45 dahulu diestimasikan senilai Rp2-3 triliun.