JAKARTA – Warganet dibuat heboh dengan nilai tukar mata uang dolar Amerika Serikat yang setara Rp8.170,65 melalui mesin pencarian Google. Namun ternyata menguatnya nilai tukar rupiah di Google hanya sebuah ilusi digital.
Foto tangkapan layar yang menunjukkan begitu signifikannya penguatan Rupiah terhadap dolar AS menyebar dengan sangat cepat di media sosial pada Sabtu (1/2/2025). Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso menegaskan level nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS seperti yang tertera di Google bukan level seharusnya. Data BI mencatat kurs Rp16.312 per dolar AS pada 31 Januari 2025.
Sementara itu, di tengah kehebohan warganet, Google juga mengonfirmasi terjadi kesalahan informasi nilai tukar tersebut yang berasal dari data konversi pihak ketiga.
“Data konversi mata uang berasal dari sumber pihak ketiga. Ketika kami mengetahui ketidakakuratan, kami menghubungi penyedia data untuk memperbaiki kesalahan secepat mungkin,” demikian keterangan Google.
Insiden serupa pernah terjadi di Malaysia pada Februari 2024. Saat itu, Google menampilkan nilai tukar ringgit terhadap dolar AS yang tidak akurat.
Bank Negara Malaysia (BNM) mencatat, pada Jumat 15 Februari 2024, Google menunjukkan nilai tukar 1 dolar AS setara dengan 4,98 ringgit. Padahal data resmi menunjukkan level terendah ringgit adalah 4,7075 per dolar AS. BNM menegaskan penilaian tersebut tidak mencerminkan fundamental ekonomi Malaysia yang sebenarnya positif.

Picu Kekacauan Ekonomi
Ketika Google menampilkan nilai tukar rupiah yang menguat terhadap dolar AS, banyak yang penasaran, membayangkan apa yang akan terjadi jika itu benar terjadi.
Dalam kajian ilmu ekonomi, fenomena naiknya nilai mata uang terhadap nilai mata uang asing dalam sistem nilai tuker disebut “apresiasi”, sedangkan jika terjadi sebaliknya alias penurunan nilai mata uang adalah “depresiasi”. Apresiasi mata uang suatu negara terhadap mata uang lainnya secara tiba-tiba dan cepat dapat menimbulkan sejumlah dampak.
Ekonom Center of Law and Economic Studies (Celios) Nailul Huda menuturkan sejumlah dampak yang mungkin terjadi jika nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS benar-benar menguat hingga Rp8.000-an.
Yang pertama, kita menjadi negara yang cukup kaya raya dengan penguatan Rupiah seperti itu. Harga barang dari luar negeri akan lebih murah dan terjangkau untuk semua orang di Indonesia. “Barang-barang branded luar negeri akan lebih murah ketika diimpor ke Indonesia,” ujar Huda saat dihubungi VOI.
Penguatan Rupiah juga akan berdampak pada harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi jauh lebih murah. Dituturkan Huda, Indonesia tidak perlu mengkhawatirkan terjadi kelangkaan BBM karena stok dari BBM akan selalu ada.
“Ketiga, ekspor kita jadi lebih mahal karena secara nilai terhadap dolar, Rupiah menguat. Barang-barang kita akan lebih mahal di luar negeri, jadi ekspor kemungkinan besar akan turun,” papar Huda lagi.
Sementara itu, pengamat pasar uang Ariston Tjendra menuturkan, penguatan kurs yang terlalu cepat justru bisa memicu kekacauan ekonomi.
"Kalau menguat terlalu cepat, hampir setengahnya seperti itu justru akan membuat chaos (kekacauan) perekonomian, terutama sektor yang berhubungan dengan ekspor impor," ujarnya mengutip Kompas.
Karena sebagian besar transaksi ekspor impor di pasar global menggunakan dolar AS, maka pergerakannya sangat memengaruhi pelaku usaha. Menurut Ariston, penguatan rupiah harus terjadi secara bertahap agar pelaku ekonomi, terutama eksportir dan importir, dapat menyesuaikan diri. "Yang lebih baik sih secara gradual, jadi pelaku ekonomi bisa mengantisipasi sebelumnya," kata dia.

Terakhir Kali di Awal Era Reformasi
Nilai tukar rupiah pernah menyentuh level Rp8.000-an per dolar AS pada 1999 dan 2011. Pada 1999, Rupiah menyentuh level tersebut akibat krisis moneter 1997-1998. Sedangkan level Rp8.000-an yang terjadi pada 2011 berkaitan dengan krisis finansial global yang terjadi pada 2008.
Dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Bank Indonesia yang ditulis Alm, Guru Besar Emeritus FEUI Lepi T. Tarmid mengungkap kondisi krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997.
Pada Agustus 1997 BI membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar AS, dan membiarkannya berfluktuasi (free floating), menggantikan sistem managed floating yang dianut sejak devaluasi Oktober 1978.
BI tidak lagi mengintervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah. Nilai tukar sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan pasar.
Kurs rupiah sempat merosot tajam dari rata-rata Rp2.450 per dolar AS di Juni 1997 menjadi Rp13.513 di akhir Januari 1998. Artinya, dalam waktu kurang dari setahun kurs Rupiah anjlok hingga 695 persen.
BACA JUGA:
Setelah mencapai titik terendah sepanjang sejarah Indonesia, upaya membangkitkan kembali ekonomi berhasil. Rupiah berhasil menguat kembali ke sekitar Rp8.000-an pada awal Mei 1999.
Tapi kemudian dolar AS kembali menguat. Ini terlihat pada nilai tukar rupiah di kisaran Rp9.000 sampai Rp10.000-an per dolar pada tahun 2008. Krisis subprime mortgage di AS pada 2008 memicu terjadinya krisis keuangan global. Dalam momen ini, nilai tukar Rupiah anjlok mencapai level Rp12.400 per dolar AS pada 2009. Namun, rupiah kembali menguat ke level Rp 8.450 per dolar AS pada 2011, didorong oleh boom harga komoditas.