Bagikan:

JAKARTA - Jakarta dan sejumlah wilayah penyangganya kebanjiran. Otoritas bergerak mengendalikan hujan dengan teknik modifikasi cuaca. Iya, mengendalikan hujan. Bukan banjir. Modifikasi cuaca, bagaimana pun hanya jalan pintas, hanya tampak sebagai jalan keluar. Tak pernah benar-benar jadi solusi. Malahan, yang tak disadari sejatinya adalah dampak buruk yang dapat timbul dari jalan pintas ini.

Dua hari pascabanjir berskala luas yang merendam Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, kami terbang bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk melihat langsung proses modifikasi cuaca. Kami menembus awan kumulonimbus untuk menyemai puluhan ton zat higroskopis, semacam garam dapur (NaCI) dan CaCI2 ke bibit-bibit awan yang menampakkan potensi turunkan hujan.

Gilang, Kapten pesawat CN95 yang mengangkut kami menjelaskan, teknik modifikasi cuaca dilakukan untuk merangsang hujan turun sebelum mencapai daratan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Untuk menentukan awan semai pun tak sembarang. Tim menggunakan weather radar yang terpasang di pesawat untuk mendeteksi bibit-bibit awan.

Kru penyemai garam melakukan tugasnya (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

"Kita menyemai sebanyak 2,4 ton bahan semai yang terdiri dari delapan konsol dimasukkan ke dalam pesawat. Kemudian, melaksanakan penerbangan ke wilayah Selat Sunda dan menyemai awan-awan di sekitar Selat Sunda yang tujuannya adalah agar awan tersebut segera turun hujan sebelum sampai di wilayah Jabodetabek. Dengan demikian, banjir akan terhindari atau meminimalisir risiko banjir yang akan terjadi," tutur Gilang, Jumat, 3 Januari silam.

"Apabila pelaksanaan penerbangan, potensi awan yang bisa kita lihat adalah menggunakan weather radar yang ter-install di pesawat. Kemudian, apabila masih pada siang hari juga bisa terlihat secara visual, kita laksanakan secara visual. Bisa mengidentifikasi berbagai jenis awan, yang mana punya potensi untuk hujan, seperti awan CB atau cumulonimbus," tambahnya.

BPPT sadar betul langkahnya berbuah hasil. Hujan tak lagi turun di daratan Jakarta dan sekitar. Sabtu, 11 Januari lalu, Kepala BPPT Hammam Riza menyatakan pihaknya bakal lebih intensif menerapkan teknik modifikasi cuaca untuk menghalau hujan turun di Jakarta. BPPT akan menerbangkan dua pesawat untuk membawa pasokan garam semai dalam empat hingga lima sorti penerbangan.

"Kami akan terbang hingga empat sampai lima sorti penerbangan. Ini sebagai ikhtiar untuk mengurangi potensi curah hujan yang sangat tinggi," katanya dalam rilis pers.

Hujan, salah apa?

Otoritas boleh menepuk dada berhasil mencegah banjir. Namun, di waktu yang sama, rasanya otoritas juga perlu mengetuk kepala, apa sejatinya yang coba ditiadakan? Hujan atau banjir? Dengan teknik modifikasi cuaca, rasanya bisa kita bertanya: apa yang salah dengan hujan?

Perkara ini perlu betul dipikir. Sebab, modifikasi cuaca bukan tanpa risiko. Pakar lingkungan hidup, Tarsoen Waryono menyebut teknik modifikasi cuaca berpotensi mengganggu pasokan air tanah. Ia menjelaskan, modifikasi cuaca berpotensi mendorong turunnya hujan asam yang dapat mengganggu siklus hidrologi.

Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang berlangsung terus menerus, bergerak dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Menurut Tarsoen, modifikasi cuaca yang tak tepat akan merusak siklus tersebut karena manusia terpaksa menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sementara hujan yang memperkaya air di tanah, tak kunjung turun.

Banjir di Ciledug, Tangerang (Irfan Meidianto/VOI)Caption

"Kalau ini dilakukan secara terus menerus, sistem akan rusak. Air tanah disedot kepentingan untuk manusia, tapi tidak diimbangi dengan air hujan," kata Tarsoen ditulis CNNIndonesia.com, Senin, 13 Januari.

Selain itu, hujan biar bagaimana pun harus dimaknai sebagai berkah. Buktinya, hujan berintensitas deras yang jadi penyebab banjir 1 Januari lalu, di saat yang sama membersihkan udara Jakarta yang berbulan-bulan kemarau dikepung polusi. Hari kala banjir melanda, seorang netizen membagikan hasil pantauan kualitas udara di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2019 dan 1 Januari 2020.

Hasilnya, Air Quality Index (AQI) pada bulan Juli menunjukkan angka mencapai 184, yang artinya tidak sehat. Hasil berbeda nampak dalam pengujian kualitas udara tertanggal 1 Januari. Dalam gambar yang dibagikan, kualitas udara Jakarta menunjukkan angka 24 AQI. Artinya, udara Jakarta sangat baik kala hujan turun. Sayang, daratan justru yang tak siap menerima turunnya berkah hujan.

Solusi?

Pemerintah, di pusat dan daerah berupaya bekerja sama menangani banjir Jakarta. Kerja sama yang sayangnya tak terjalin amat baik. Pemerintah Pusat menghendaki kelanjutan pembangunan dua bendungan di Sukamahi dan Ciawi. Bendungan ini dianggap untuk mewujudkan penanganan banjir dari bagian hulu hingga hilir.

"Presiden mengarahkan bahwa tetap lanjutkan. Jadi penanganan banjir di Jakarta ini di bagian hulu kita bangun dua bendungan, yakni Bendungan Sukamahi dan Bendungan Ciawi. Semua akan kita selesaikan pada 2020 ini," kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono ditulis Wartaekonomi.com, Jumat, 5 Januari.

Menurut Basuki, progres pembebasan lahan untuk bendungan telah mencapai 95 persen. Selanjutnya, tinggal melaksanakan pembangunan fisik. Selain pembangunan bendungan di hulu, pemerintah juga akan meneruskan sejumlah program pembangunan di kawasan hilir, salah satunya adalah normalisasi Kali Ciliwung.

Ada perkara di sini. Kehendak Jokowi tak begitu selaras dengan rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang konon memilih naturalisasi. Tak menyelesaikan banjir, dua pihak malah terjebak dalam perdebatan soal istilah. Anies mengatakan, tak ada perbedaan jauh antara normalisasi dan naturalisasi. Keduanya sama-sama mengusung konsep pelebaran badan sungai.

Bedanya, normalisasi adalah membeton badan sungai, sementara naturalisasi adalah mengembalikan daerah serapan sekitar badan sungai dengan menyediakan tanah serta pepohonan di sepanjang badan sungai. Persamaan lain, keduanya sama-sama master plan untuk pencegahan banjir Ibu Kota.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (Instagram/@aniesbaswedan)

Dari Yogyakarta, suara para profesor Universitas Gadjah Mada (UGM) terngiang memecah perdebatan otoritas di Jakarta. Dari pakar hidrologi, ada Rachmad Jayadi dan Budi Santoso Wignyosukarto. Mewakili pakar hidrologi dan teknik pantai, Nur Yuwono dan Bambang Triatmodjo hadir. Selain itu, aktivis konservasi sungai, Suratman serta Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, Mohammad Pramono juga bersuara.

Seluruhnya sepakat, solusi penanganan banjir Jakarta harus dilakukan dengan terlebih dulu melihat perkembangan pembangunan Jakarta yang luar biasa masif. "Kita harus melihat perkembangan di Jakarta sangat luar biasa. Sementara, untuk meningkatkan kapasitas drainase di perkotaan sulit. Lantas apa yang bisa dilakukan? Masyarakat dan pemerintah harus memulai sesuatu," tutur Rachmad ditulis Liputan6.com, 7 Januari.

Pertama adalah rainfall recharging. Di Jakarta, pendirian bangunan harus disertai kewajiban untuk membuatan sumur resapan. Syarat itu harus disertakan dalam izin mendirikan bangunan (IMB). Kedua, pengendalian lewat analisis dampak lingkungan (AMDAL). Dengan kata lain, setiap rencana pengembangan daerah besar harus melalui hitung-hitungan potensi risiko banjir.

Selanjutnya, normalisasi. Mengacu pada istilah hidrolik, normalisasi dapat diartikan sebagai mengembalikan fungsi sungai sebagai sumber kehidupan. Jika merujuk istilah Anies, normalisasi lebih masuk akal ketimbang naturalisasi dengan pertimbangan pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Naturalisasi memang baik secara konsep.

Namun, ada konsekuensi di baliknya. Laju air dalam konsep naturalisasi lebih lambat ketimbang normalisasi. Padahal, mempercepat laju air adalah salah satu yang dibutuhkan untuk mengurangi dampak banjir Jakarta. "Solusinya sekarang air cepat, ruang sempit, harus artifisial, diberi dinding yang licin supaya air mengalir lebih cepat dan tahan erosi," tutur Rachmad.

Terkait hujan sebagai penyebab banjir, Jakarta harus mengoptimalkan fungsi drainase internal agar datangnya air terevakuasi dengan baik. Sistem drainase harus akurat, terutama soal manajemen air. Ke mana air akan dialihkan kala hujan turun.