Bagikan:

JAKARTA - Wali Kota Seoul Park Won-soon ditemukan tewas, Jumat, 10 Juli setelah dinyatakan hilang Kamis 9 Juli. Dia hilang setelah putrinya melapor. Sebelum menghilang, dia sempat meninggalkan pesan 'seperti wasiat'.

Dilansir Reuters, Badan Kepolisian Seoul menemukan jenazah Park di Gunung Bugak di Utara Seoul pada Kamis, 9 Juli tengah malam, di dekat tempat sinyal telepon terakhir terdeteksi. Proses pencarian ini melibatkan ratusan polisi, drone dan anjing.

Park meninggalkan kediaman resmi walikota sekitar pukul 10.40 pagi pada hari Kamis, 9 Juli, mengenakan topi hitam dan ransel, setelah membatalkan pertemuan kebijakan yang dijadwalkan untuk hari itu, menurut beberapa laporan lokal.

Petugas kepolisian Choi Ik-soo mengatakan kepada wartawan, di tempat kejadian tidak ada tanda-tanda pelanggaran dan penyebab kematiannya pun belum bisa disimpulkan. Polisi akan melakukan penyelidikan atas peristiwa ini.

Sebelumnya, kantor berita Yonhap menyebut, seorang mantan sekretaris Park telah mengajukan keluhan atas dugaan insiden pelecehan seksual pada hari Rabu, 8 Juli. Kasus ini pun akan ditangani untuk mengetahui keterkaitan dengan kasus kematian Park.

Putri Park melaporkan dia hilang pada pukul 17.17 dan mengatakan telepon Park tidak bisa dihubungi serta meninggalkan pesan khusus. 

Sebagai walikota dengan berpenduduk hampir 10 juta orang, Park adalah salah satu politisi paling berpengaruh di Korea Selatan dan memainkan peran penting dalam menanggapi pandemi coronavirus.

Dia dipandang sebagai calon presiden yang potensial bagi kaum liberal dalam pemilihan presiden 2022.

Pegiat isu perempuan

Dulunya, dia adalah aktivis dan pengacara hak asasi manusia terkemuka, Park telah menjadi wali kota Seoul sejak 2011. Dia mengusulkan sejumlah kebijakan yang mempromosikan kesetaraan gender.

Sebagai seorang pengacara di tahun 1990-an, ia memenangkan salah satu kasus pelecehan seksual di Korea Selatan. Ia juga mengadvokasi para korban yang dipaksa jadi pemuas hasrat (comfort women) tentara Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II, khususnya saat Jepang menduduki paksa Korea.

Park juga memuji para penyintas perempuan atas keberanian mereka bersuara menuntut para pelaku kekerasan seksual, yang beberapa di antaranya merupakan politisi berpengaruh serta para pembuat kebijakan, lewat gerakan #MeToo pada 2018.

Dia juga memainkan peran vokal dalam demonstrasi cahaya lilin besar yang membantu mendorong tersingkirnya mantan Presiden Park Geun-hye pada 2017.