Bagikan:

JAKARTA - Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Wikan Sakarinto mengatakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pusat Keunggulan dapat dikembangkan di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T).

“SMK Pusat Keunggulan ini dikembangkan di setiap provinsi, bahkan di daerah 3T. Contohnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), industri tidak banyak seperti di Batam, tetapi memiliki potensi lokal yang bisa dikembangkan,” ujar Wikan dalam siniar Pojok Dikbud : Kita Bangun Pendidikan Vokasi untuk Indonesia Maju yang dipantau di Jakarta, dilansir Antara, Sabtu, 8 Mei.

Misalnya, di NTT, potensi daerahnya di bidang peternakan mampu menyediakan sapi hingga ke Jakarta. Namun, dalam perjalanan dari NTT ke Jakarta, sebagian besar sapi mengalami penurunan berat badan hingga 15 persen akibat stres dalam perjalanan.

“Akibatnya, harga jadi turun. Melalui SMK Pusat Keunggulan, bisa melakukan inovasi pada pengolahan hasil ternak, sehingga bisa menghasilkan makanan yang bisa mencegah sapi menjadi stres,” tambah dia.

Begitu juga di Sulawesi Utara, mengekspor tuna hingga ke Jepang. Kemendikbudristek merancang SMK-D2 jalur cepat penangkapan ikan dengan tujuan menghasilkan sumber daya manusia yang unggul bidang penangkapan ikan.

Pada 2021, lanjut Wikan, Kemendikbudristek menargetkan sebanyak 900 SMK Pusat Keunggulan. Dalam penyelenggaraannya, SMK Pusat Keunggulan tersebut didampingi perguruan tinggi vokasi di daerah itu.

“Dalam hal ini, peran pemda sangat diperlukan dalam melakukan pembinaan terhadap SMK di daerahnya,” katanya.

Wikan menjelaskan pendidikan vokasi harus selaras dengan industri dan menerapkan 8+i , yang mana keterlibatan dunia kerja di segala aspek penyelenggaraan pendidikan vokasi.

Delapan hal yang perlu dilakukan, yakni kurikulum yang disusun bersama dengan industri, pembelajaran berbasis proyek riil dari dunia kerja, jumlah dan peran guru atau instruktur dari industri dan ahli dari dunia kerja, praktik kerja lapangan atau industri.

Selain itu, sertifikasi kompetensi, pemutakhiran teknologi dan pelatihan bagi guru atau instruktur, riset terapan mendukung "teaching factory", dan komitmen serapan, serta berbagai kemungkinan kerja sama yang dapat dilakukan dengan dunia kerja, seperti beasiswa, donasi dalam bentuk peralatan dan lainnya.