Menurut Hasan, penghangusan sertifikat hak milik (SHM) daratan yang terkena abrasi bisa memicu konflik di masyarakat. Menurutnya, perlu kebijaksanaan dari berbagai pihak khususnya Kementerian ATR/BPN.
Hasan mencontohkan, terdapat tambak milik warga yang lahannya cukup luas, tiba-tiba harus musnah terkena abrasi laut. Lalu, lahan serta haknya juga terhapus dalam sekejap karena abrasi.
"Kalau pemiliknya mau menggunakan, ya enggak apa-apa. Artinya, sertifikatnya tetap hidup. Tapi sudah tertutup air, ya enggak apa-apa. Lha wong boleh kok. Nah, kalau dibatalkan tanpa ada pemberian hak prioritas itu, ya pasti konflik," kata Hasan kepada wartawan, Senin, 3 Februari.
Hasan menekankan, dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, terdapat aturan menghidupkan kembali hak prioritas kepada pemilik lahan yang terkena abrasi.
Sehingga, ia memandang, pemerintah berpotensi salah dalam memutuskan status lahan dan itu risikonya cukup berat.
"Kalau tidak diberikan hak prioritas kepada pemilik, ya pasti akan konflik. Bisa muncul gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Saya kira, tinggal faktanya seperti apa. Aturan hukumnya seperti apa. Ikuti saja itu. Amanlah," kata prof Nur Hasan.
Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid menyebut, sertifikat tanah yang terkena abrasi laut, bakal ditinjau ulang status sertifikatnya.
“Bergantung abrasinya itu bersifat permanen atau temporer,” kata Nusron pada Kamis, 30 Januari
Nusron menuturkan, jika tanah atau daratan yang terkena abrasi, sifatnya permanen maka Kementerian ATR/BPN akan membatalkan status kepemilikan tersebut. Demikian pula sebaliknya.
“Kalau bersifat karena banjir sementara, ya itu kan temporer. Tapi kalau itu abrasinya permanen, ya itu kita batalkan (SHM),” ucap dia.
Alasan pembatalan SHM, kata dia, mengingat fakta material tanah atau lahan daratan, sudah hilang terkena abrasi air laut. “Kayak banjir jalan, sawah tenggelam kemudian hilang airnya, ya itu masih bisa,” tambah Nusron.
Sekadar informasi, ancaman abrasi di pantai utara Pulau Jawa sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikeluarkan pada 2015, sedikitnya 400 kilometer garis pantai di Indonesia, tergerus abrasi.
BACA JUGA:
Berdasarkan jurnal Departemen Geografi Universitas Indonesia (UI) bertajuk 'Monitoring Perubahan Garis Pantai untuk Evaluasi Rencana Tata Ruang dan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Tangerang', menunjukkan semua desa di pesisir Kabupaten Tangerang, hilang digulung abrasi, atau akresi dalam 10 tahun terakhir.