Bagikan:

JAKARTA— Pinjaman online alias pinjol dan judi online (judol) telah menjerat jutaan orang, termasuk wartawan. Mereka terjebak dalam utang dengan bunga mencekik, ancaman penyebaran data pribadi, hingga intimidasi debt collector. Mirisnya, hukum tak selalu berpihak pada korban.

Fakta ini terungkap dalam Seminar Nasional "Peran Media dalam Pencegahan Pinjol dan Judol", bagian dari Road to HPN 2025, yang digelar di Universitas Sahid Jakarta, Jumat 31 Januari. Acara ini menghadirkan Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK Rudy Agus Purnomo Raharjo, Ketua LKBPH PWI Pusat HM Untung Kurniadi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sahid Dr. Yuherman SH, MH, dan Dekan Fikom Universitas Sahid Dr. Mirza Ronda, M.Si.

HPN 2025 di Banjarmasin diharapkan menjadi momentum bagi pers untuk lebih aktif mengawal pemberantasan pinjol ilegal dan judol.

Pinjol Ilegal: Satu Ditutup, Seribu Tumbuh

Rudy Agus Purnomo mengungkapkan bahwa pinjol ilegal adalah ancaman nyata bagi masyarakat. Nasabah tidak hanya terjerat bunga selangit, tetapi juga menghadapi kebocoran data pribadi dan teror penagihan yang tidak manusiawi.

OJK telah menutup 2.900 aplikasi pinjol ilegal, membekukan 228 rekening, dan memblokir 1.400 akun WhatsApp. Namun, pinjol ilegal terus bermunculan. "Satu ditutup, yang lain tumbuh. Selama ada permintaan, akan ada penawaran," ujarnya.

Rudy menyoroti rendahnya literasi keuangan sebagai penyebab utama. "Tingkat literasi kita baru 65 persen, sementara inklusi keuangan 75 persen. Artinya, masyarakat banyak yang menggunakan layanan keuangan tanpa pemahaman cukup," tegasnya.

Pembica menyamoaikan presentasi saat seminar berlangsung. (Dok PWI PUsat)
Pembica menyamoaikan presentasi saat seminar berlangsung. (Dok PWI PUsat)

Wartawan pun Jadi Korban

Ketua LKBPH PWI Pusat, HM Untung Kurniadi, mengungkapkan fakta bahwa wartawan pun banyak yang terjerat pinjol ilegal. "Saya pernah mendampingi wartawan yang ingin melaporkan kasus ini ke polisi. Tapi ditolak, katanya ini ranah perdata," ujarnya.

Untung juga menyinggung pernyataan Mahfud MD yang menyebut utang pinjol ilegal tak perlu dibayar. Namun, apakah pernyataan itu berlaku secara hukum?

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sahid, Dr. Yuherman SH, MH, menjelaskan bahwa secara norma hukum, utang tetap harus dibayar. Namun, tagihan pinjol ilegal tidak bisa ditagih melalui pengadilan, sama seperti hutang dari judi online.

"Pengadilan hanya mengatur perjudian dalam pasal 303 KUHP, tetapi hutang akibat judi online tidak bisa dibawa ke pengadilan," jelasnya.

Media Harus Bertindak

Dekan Fikom Universitas Sahid, Dr. Mirza Ronda, menegaskan bahwa media adalah benteng terakhir dalam memberantas pinjol ilegal dan judol.

Ia mencontohkan keberhasilan media dalam membongkar kasus pagar laut di Tangerang. "Jika media konsisten mengawal kasus judi online yang sudah melibatkan Kominfo, ini bisa jadi isu utama di masyarakat. Media harus terus menekan hingga ke persidangan," tegasnya.

Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch Bangun, menambahkan bahwa pinjol ilegal dan judol tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Singapura, banyak ibu-ibu yang terjerumus dalam judi online.

"Di Indonesia, masalahnya lebih besar karena banyak masyarakat yang ingin kaya tanpa kerja keras," ujarnya.

HPN 2025 di Banjarmasin: Momentum Perlawanan

Seminar ini merupakan bagian dari Road to HPN 2025, yang akan mencapai puncaknya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 9 Februari 2025.

Rektor Universitas Sahid, Prof. Dr. Ir. Giyatmi, faham sambutannya menegaskan bahwa media harus menjadi garda terdepan dalam mencegah pinjol ilegal dan judol. Ia bahkan mengusulkan riset sederhana untuk menggali faktor utama yang membuat masyarakat rentan terhadap pinjol ilegal dan judol.

"Jika kita ingin memberantas pinjol ilegal dan judol, media harus lebih agresif. Jangan berhenti di berita, tapi kawal terus sampai ada perubahan nyata!" tegasnya.