Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial, yang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia meminta agar Polisi Militer Angkatan Laut (Puspomal) tidak melindungi anggota TNI yang terlibat dalam kejahatan terhadap warga sipil.

Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan adanya peristiwa penembakan terhadap bos rental di Rest Area KM45, Tol Tangerang-Merak pada Kamis (2/1) dengan melibatkan anggota TNI AL ini harus menjadi perhatian penting bagi pihak terkait di jajaran TNI.

"Atas pernyataan Pangkoarmada RI, Laksamana Madya TNI Denih Hendrata, terkait pelaku penembakan bos rental mobil di KM 45 Merak-Tangerang, yang dilakukan oleh oknum prajurit TNI AL merupakan tindakan membela diri akibat adanya pengeroyokan. Dan ini harus jadi perhatian penting bagi jajaran TNI," katanya dilansir ANTARA, Kamis, 9 Januari.

Menurutnya, pernyataan Pangkoarmada tersebut bertentangan dengan pernyataan anak korban Agam Muhammad Nasrudin yang pada saat kejadian berada di lokasi kejadian dan melihat langsung kejadian tersebut.

Di mana anak korban menyampaikan tidak ada pengeroyokan dalam kejadian tersebut.

"Dia menjelaskan bahwa pada saat melakukan pengejaran sebelum masuk rest area KM 45, mereka dan tim bahkan sudah terlebih dahulu ditodong dan diancam akan ditembak dengan senjata api ketika hendak menghentikan mobil rental yang dibawa oleh komplotan pelaku," paparnya.

Kendati demikian, Imparsial menilai dengan pernyataan pihak TNI atas peristiwa yang terjadi itu terlalu dini dan bersifat prematur yang dapat melukai perasaan keluarga korban yang sedang mencari keadilan.

"Puspomal juga belum meminta keterangan dari keluarga korban dan sejumlah saksi yang melihat langsung kejadian tersebut. Perlu dicatat bahwa oknum anggota TNI AL tersebut jelas-jelas tidak memiliki itikad baik untuk menguasai mobil milik pengusaha rental tersebut, jadi di sini jelas ada niat jahat dari si pelaku," ungkapnya.

Ia menyebutkan, Pangkoarmada dan Puspomal dalam hal ini terkesan melindungi anggota TNI AL pelaku penembakan yang mengakibatkan tewasnya bos rental mobil tersebut.

"Untuk itu, sebagai orang yang berniat jahat, penembakan yang dilakukan oknum TNI AL tersebut bukanlah bentuk pembelaan diri, melainkan upaya untuk bersama-sama meloloskan diri. Dalih penembakan dilakukan atas dasar untuk membela diri sebagaimana yang disampaikan Pangkoarmada jelas-jelas keliru," ujarnya.

Imparsial menegaskan peristiwa penyalahgunaan senjata api oleh anggota TNI yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa bukan kali ini saja.

Dalam catatan Imparsial, sepanjang tahun 2024 telah terjadi setidaknya delapan peristiwa penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh oknum anggota TNI. Penyalahgunaan senjata api ini mengakibatkan tujuh orang warga sipil tewas dan 10 orang terluka.

Selain itu, Imparsial juga mencatat terdapat 27 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI terhadap warga sipil sepanjang tahun 2024 kemarin, dengan korban sebanyak 48 orang di mana 12 diantaranya meninggal dunia.

"Bentuk kekerasan yang dilakukan diantaranya adalah; pemukulan/ penganiayaan sebanyak 18 kasus, penembakan sebanyak 8 kasus, 1 kasus adalah KDRT," katanya.

Kasus penembakan di KM 45 Merak-Tangerang ini disebut Imparsial menambah daftar panjang bagaimana sistem peradilan militer sebenarnya tidak layak untuk memproses kejahatan pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI.

Imparsial pun menyarankan agar prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum harus diproses melalui sistem peradilan umum. Hal ini merupakan amanat dari UU TNI sendiri (Pasal 65 ayat (2)) dan juga TAP MPR No. VII tahun 2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat pertahanan dan keamanan negara.

"Meski sudah lebih dari 20 tahun lalu dimandatkan oleh UU TNI dan TAP MPR RI, namun hingga saat ini Pemerintah dan DPR RI enggan untuk melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer," kata dia.