JAKARTA - Persetujuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menjadi salah satu hambatan belum diakuinya Palestina sebagai anggota penuh, kendati mayoritas anggota dalam Sidang Majelis Umum (SMU) menyatakan dukungan kepada Palestina, dengan Indonesia terus memperjuangkan reformasi badan PBB tersebut, kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Lalu M. Iqbal.
Duta Besar Iqbal mengatakan, dalam voting SMU PBB 10 Mei lalu, sebanyak 146 negara mendukung Palestina menjadi anggota penuh PBB, 25 negara abstain dan 9 negara menolak, dari total 193 negara anggota SMU.
"Artinya, mayoritas mendukung Palestina di SMU. Namun, untuk bisa disetujui atau ditetapkan, bisa diterima sebagai anggota penuh PBB, diperlukan persetujuan Dewan Keamanan," jelasnya dalam keterangan pers di Jakarta 29 Mei.
Dijelaskannya, sulit untuk mendapat dukungan penuh dari seluruh anggota DK PBB, karena masih ada negara-negara yang memiliki hak veto yang bisa tidak setuju dengan dengan pemberian pengakuan status keanggotaan penuh terhadap Palestina
"Keputusan itu harus mendapatkan persetujuan dari DK PBB. Kalau ditanya hambatannya di mana? Hambatannya di DK PBB," kata Iqbal.
Reformasi DK PBB
Kendati saat ini tidak menjadi anggota DK PBB, namun Indonesia terus mengimbau badan PBB yang beranggotakan 15 negara itu, dengan lima negara anggota tetap, agar satu suara soal isu Palestina.
Diketahui, mekanisme pemungutan suara resolusi DK PBB memerlukan minimal sembilan suara mendukung, dari total 15 anggota dewan tersebut, tanpa adanya veto dari salah satu anggota tetap dewan, yakni Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis dan Rusia.
Mekanisme ini kembali menuai sorotan dalam konflik di Gaza yang pecah pada 7 Oktober 2023, di mana veto anggota tetap membuat DK PBB beberapa kali gagal menghasilkan resolusi pada awal konflik, menimbulkan kembali seruan untuk mereformasi badan tersebut.
Bahkan, Presiden SMU PBB Dennis Francis dan Sekjen PBB Antonio Guterres menyesalkan kegagalan DK PBB menanggapi konflik di Gaza dan menyerukan reformasi satu-satunya badan PBB yang mempunyai keputusan mengikat itu.
"Saya berharap saya mendapat jawaban yang brilian," ujar Francis saat konferensi pers di Seoul, Korea Selatan tahun lalu, ketika ditanya tentang reformasi DK PBB, melansir The Korea Times 20 Oktober.
"Telah ada proses diskusi mengenai jenis keanggotaan Dewan Keamanan yang ingin dibentuk. Namun, negosiasi resmi mengenai hal tersebut belum dimulai," lanjutnya.
"Harap diingat bahwa reformasi dewan akan menjadi sebuah proses. Ini bukan sebuah peristiwa. Kita tidak akan bangun suatu pagi, besok pagi atau minggu depan dan menemukan bahwa ada Dewan Keamanan yang baru," tandasnya.
BACA JUGA:
Dubes Iqbal mengatakan, Indonesia adalah salah satu negara pertama yang mengusulkan reformasi DK PBB tahun 1960 dalam pidato Presiden Soekarno. Sejak itu, menurutnya, Indonesia tidak pernah berhenti memperjuangkan reformasi PBB dan terutama DK PBB.
"Indonesia tetap memperjuangkan reformasi DK PBB. Namun, sampai sekarang negara-negara anggota belum menemukan formulasi yang tepat reformasi tersebut yang bisa diterima oleh semua negara," jelasnya.
"Ada yang mengusulkan dihapusnya hak veto, ada negara tetap, negara semi permanen dan sebagainya. Sampai saat ini negara-negara anggota belum menyepakati formula reformasi DK PBB. Tapi, usulan dan upaya ke arah reformasi DK PBB tersebut terus kita lakukan sejak pertama kali kita mengusulkan," tandasnya.