Presiden Langgar Keppres Sendiri Jika Tak Gratiskan Pemeriksaan COVID-19
Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Jumlah pasien positif virus corona atau COVID-19 bertambah. Jumlah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan suspect juga bertambah. Pemeriksaan kini tak cuma dibutuhkan oleh mereka yang memiliki riwayat kunjungan atau kontak. Namun, untuk memeriksakan diri secara mandiri tanpa rekomendasi dokter, masyarakat harus membayar Rp700 ribu.

Berdasarkan keresahan masyarakat, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dokter Hermawan Saputra menegaskan, seharusnya pemerintah menggratiskan semua biaya bagi masyarakat yang akan memeriksaan diri secara mandiri.

Sebab, jika merujuk kepada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-2019), maka, semua bentuk biaya dalam langkah pencegahan dan lain sebagainya masuk dalam tanggung jawab pemerintah.

"Sejauh ini penanganan (penyebaran) itu bergerak lambat. Situasi terkait COVID-19 sudah masuk dalam kategori bencana nasional. Pemerintah harus menggratiskan semua biaya," ucap Hermawan kepada VOI, Minggu, 15 Maret.

Dalam kondisi penyebaran virus corona yang begitu masif, kata Hermawan, keliru jika pemerintah masih membedakan antara seseorang yang memilki riwayat kontak atau tidak. Terlebih, penelusuran atau contact tracing, saat ini sudah kurang efektif.

Sehingga, menggratiskan semua akses pemeriksaan terkait COVID-19, dianggap menjadi cara terbaik untuk mengantisipasi penyebarannya. Pemerintah mesti berkoordinasi dengan pihak BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan untuk menanggung biaya pemeriksaan tersebut.

Pihak rumah sakit yang menerima masyarakat terkait COVID-19, jangan hanya melakukan pemeriksaan dasar saja. Seharusnya, juga dilakukan pemeriksaan menyeluruh seperti swap liur untuk segera memastikan seseorang terjangkit atau tidak.

Dengan melakukan hal tersebut, penanganan dan pencegahan pun bisa cepat dilakukan. Selain itu, pemerintah harus memiliki paling tidak 100 laboratorium yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia agar semakin cepat mendeteksi penyebaran COVID-19.

"Masyarakat berhak mendapatkan pemeriksaan dan gratis. Pemerintah harus berkoodinasi dengan BPJS untuk meng-cover biaya. Semua orang memeriksa secara mandiri harus langsung diperiksa secara menyeluruh. Jadi bukan hanya pemeriksaan dasar," tandas Hermawan.

Langkah Pemprov DKI

Dikutip dari Republika.co.id, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat berujar siap menanggung beban biaya pemeriksaan bagi masyarakat Jakarta yang merasakan gejala atau pernah kontak dengan pasien suspect. Meski, persoalan biaya bagi pasien positif Covid-19 memang ranah atau wewenang Pemerintah Pusat.

Hal itu diucapkan Anies dalam kegiatan Sosialisasi Pencegahan Pengendalian dan Update Situasi Corona Virus Disease (COVID-19) bersama Direktur Rumah Sakit dan Tenaga Medis Se-Jakarta, Kamis, 5 Maret.

"Jadi bapak ibu nanti soal biaya ini, kalau sampai BPJS tidak menanggung, nanti DKI kita atur untuk menutup. Harus, bapak ibu sekalian," kata Anies.

Dalam pernyataannya itu, Anies juga menegaskan hal itu merupakan tanggung jawab negara dan sesuai amanat konstitusi untuk melindungi setiap tumpah darah Indonesia.

Meski, Anis tetap akan berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat mengenai hal itu agar tidak ada kekeliruan dan melangkahi kewenangan. Sehingga, penanganan pun akan lebih cepat.

"Karena dua-duanya bermasalah nantinya ya kan? Melangkah keliru, salah. Melangkahi juga salah. Kan melangkahi tidak sopan. Tapi intinya Jakarta siap jadi backup, kalau sampai ini tidak, ini tidak, maka Jakarta ambil tanggung jawab. Jelas itu. Itu yang bisa saya jawab," jelas Anies.