Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Indef Abra Talattov menyebut program makan siang gratis yang dicanangkan salah satu paslon di Pilpres 2024 tidak realistis. Abra juga menilai, program tersebut melabrak sistem ketatanegaraan karena sudah digembar-gemborkan pemerintahan saat ini. Padahal, belum ada penetapan presiden dan wakil presiden terpilih dari KPU. 

Abra mulanya mengkritik proyek-proyek pemerintahan Presiden Jokowi yang dinilainya rak realistis sampai-sampainya mengorbankan APBN untuk berutang. Seperti proyek kereta cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang membuat utang Indonesia membengkak hingga berkali-kali lipat. 

 "Kalau mau buka APBN dari tahun 2014-2024 memang banyak hal hal yang harus kita kritisi bersama. Pertama, utang negara kita di awal pemerintahan pak Jokowi Rp2.400 T kemudian Januari kemarin udah Rp8.000-an T. Jadi sudah berkali-kali lipat. Ini tidak lepas dari besarnya ambisi pemerintah membangun infrastruktur, kemudian proyek tak mendesak, juga proyek-proyek di BUMN," ujar Abra dalam acara diskusi dan konsolidasi darurat nasional 'Rusaknya Tata Kelola Negara' yang disiarkan akun YouTube PMII Official, Senin, 4 Maret. 

"Misalnya, kereta cepat Jakarta-Bandung mengandung komplikasi yang serius. Karena bukan hanya biaya yang membengkak tapi juga kemampuan untuk mengembalikan utang. Bahkan senior kami, bang Faisal bilang sampai kiamat kita nggak bisa bayar utang kereta cepat. Saking nggak realistisnya proyek itu. Itu pun akan diperpanjang sampai Surabaya," lanjutnya. 

Menurut Abra, entah disengaja atau tidak jebakan-jebakan utang itu akan sangat membahayakan negara. Termasuk proyek pemindahan ibu kota negara (IKN). 

"Di mana pemerintahan percaya, proyek ini akan didanai oleh swasta dan investor asing. Tapi faktanya sampai sekarang, swasta bahkan investor asing masih ragu melihat visibility proyek IKN ini. Ketika swasta atau investor asing tidak berminat untuk berinvestasi, pada akhirnya kan APBN kita yang akan digunakan. Jadi memang jika resiko keuangan kita tidak diperbaiki dari sekarang ini akan berbahaya menjadi bom waktu," katanya. 

Abra menegaskan, Indonesia jangan berharap menjadi negara maju pada tahun 2045, kalau persoalan keuangan negara tidak mampu direm nafsunya oleh pemerintah sendiri. Belum lagi, kata dia, janji janji politik dari program-program tak realistis dari paslon pilpres yang mungkin menjadi pemerintah selanjutnya. 

"Misalnya, makan siang dan susu gratis, itu Rp400 triliun kebutuhannya sampai 2029. Saking tidak realistisnya, dari mana sumber uangnya terucap bahwa anggaran itu akan menggunakan dana BOS. Padahal dana BOS juga nggak besar hanya Rp50-an triliun. Dana BOS itu untuk membiayai operasional gaji guru, pengajar honorer. Artinya apa, yang dikorbankan dalah tenaga pendidik," tegas Abra. 

Abra menilai, dunia pendidikan nasional akan menjadi korban dari program yang sifatnya politis. Padahal kata dia, program tersebut disisi lain menjadi gimik untuk meyakinkan pemilih. 

"Ini yang mau tidak mau, program seperti ini harus bisa kita bendung jangan sampai masuk ke keuangan negara kita. Bahkan belum ditetapkan KPU pemenangnya siapa sudah mulai digembar-gemborkan masuk APBN 2024 sudah dibahas di kabinet. Lucunya antara presiden dan menteri pun beda suara. Presiden bilang gak ada pembahasan itu. Tapi menterinya koar koar bilang sedang dikaji supaya ada alokasi di 2024," bebernya. 

Selain itu, sambung Abra, program ini juga melabrak sistem ketatanegaraan dalam konteks peran dari DPR atau parlemen. Di mana semestinya juga dibahas di dalam siklus anggaran yang normal atau RAPBN. 

"Setelah bulan Mei nanti atau jelang Agustus dibahas dulu bagaimana pandangan parlemen, apakah layak masuk dalam APBN kita. Jadi memang in terlihat sangat sentralistis, begitu bernafsu sekali sangat dipaksakan untuk direalisasikan di APBN kita," tuturnya. 

"Jadi memang banyak keanehan yang setiap hari kita saksikan, bukan hanya politik tapi ekonomi pun sudah sangat kasat mata sekali," pungkas Abra.