JAKARTA - Militer Israel menyebutkan tewasnya dua pasien termasuk seorang bayi di rumah sakit Gaza disebabkan proyektil peluru yang salah sasaran setelah ditembakkan kelompok Hamas.
Pihak militer Israel beralasan, saat itu tengah terjadi pertempuran sengit melawan Hamas di sekitar wilayah tersebut. IDF mengatakan bahwa rumah sakit di Gaza “perlu dikosongkan untuk menghadapi Hamas,” yang membantah menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup, sebagaimana Israel berulang kali menuduh mereka melakukan hal tersebut.
Mantan perwira intelijen Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan mantan pejabat badan intelijen Israel, Mossad, Yossi Alpher mengatakan pasukan Israel saat ini sedang memburu pemimpin tertinggi Hamas Yahya Sinwar, 61 tahun, yang dianggap sebagai dalang serangan teroris 7 Oktober, dan Mohammed Deif, komandan Brigade Izz ad-Din al-Qassam, sayap militer Hamas.
BACA JUGA:
“Sama sekali belum ada kepastian Sinwar dan Deif ada di sana. Mereka tahu kita akan datang. Mereka tahu kita tidak akan pergi terlalu jauh ke Selatan (Gaza), jadi mereka mungkin telah pergi atau berencana untuk berjuang sampai garis akhir"katanya.
“Saya tidak melihat kita akan menyerang rumah sakit yang penuh dengan pasien dan dokter—itu akan menjadi bencana. Jadi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan hal ini masih belum jelas,” tambah Alpher. "Dan cara Anda mencapai terowongan di bawahnya—itu adalah misteri besar."
Alpher mengatakan bahwa, bahkan jika tindakan Israel di sekitar al-Shifa berakhir sebagai klimaks dari upayanya untuk memenuhi janji Israel untuk melenyapkan Hamas, “masih ada Hamas di selatan, yang mungkin termasuk kepemimpinan Hamas.”
Bulan Sabit Merah Palestina memposting ke X (sebelumnya Twitter) bahwa tank-tank Israel kini berjarak 65 kaki dari rumah sakit Al-Quds di Kota Gaza, dan penembakan langsung menciptakan "kepanikan dan ketakutan ekstrem di antara 14.000 pengungsi."
Sementara itu, Angelita Caredda, direktur regional Timur Tengah Dewan Pengungsi Norwegia, mengatakan kepada Newsweek pada hari Sabtu, 11 November, bahwa “mereka yang dirawat atau mencari perlindungan di rumah sakit tidak punya tempat lain untuk pergi.”
"Fasilitas medis dan mereka yang merawat orang sakit dan terluka “memiliki perlindungan khusus berdasarkan hukum kemanusiaan internasional yang harus dihormati dalam segala keadaan,” kata Caredda dalam keterangan tertulisnya.
“Kegagalan untuk melakukan hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional,” tambahnya. “Gencatan senjata yang mendesak diperlukan untuk menghindari jatuhnya lebih banyak nyawa tak berdosa. Semua pihak harus mematuhi hukum perang untuk menyelamatkan semua warga sipi,"tandasnya.