Supaya Tak Makin Banyak Anak Muda Pindah Warga Negara, Harus Ada Perbaikan Sistem Pengupahan
Photo by Tim Gouw on Unsplash

Bagikan:

JAKARTA - Komisi IX DPR menyoroti fenomena banyaknya mahasiswa Indonesia yang pindah menjadi warga negara Singapura, dengan alasan penghasilan tinggi. Pemerintah perlu memperbaiki sistem ketenagakerjaan di Indonesia untuk mencegah eksodus para generasi muda.

"Fenomena banyaknya mahasiswa kita yang pindah kewarganegaraan saya kira cukup serius untuk diperhatikan. Ini jadi pekerjaan rumah besar, bagaimana caranya Pemerintah menciptakan lapangan kerja yang sehat, termasuk dalam hal pengupahannya,” kata Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, Rabu 12 Juli.

Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Imigrasi, warga negara Indonesia (WNI) yang memilih pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura pada tahun 2022 mencapai 1.091 orang. Sedangkan pada tahun 2021 sebanyak 1.070 orang.

Mayoritas WNI yang memilih pindah kewarganegaraan itu berada di rentang usia produktif yakni 25-35 tahun. Seperti, mahasiswa yang telah selesai menempuh pendidikan Sarjana (S1), Magister (S2) ataupun Doktor (S3). Rahmad mengatakan, perlu ada solusi dari fenomena yang terjadi ini.

"Negara harus memiliki terobosan agar para generasi muda berprestasi tetap tertarik berkarir di tanah air. Salah satunya meningkatkan upah minimum di Indonesia," ucapnya.

Rahmad menilai, perbaikan sistem Upah Minimum Provinsi (UMP) perlu dilakukan demi peningkatan penghasilan bagi warga negara. Sebab pemicu ribuan mahasiswa memilih pindah warga negara adalah karena penghasilan yang lebih tinggi di Singapura.

“Ini jadi PR kita bersama untuk bisa menciptakan pasar ketenagakerjaan yang lebih menarik untuk generasi muda sehingga sumber daya manusia (SDM) yang unggul tidak habis diambil negara lain, yang akan berdampak pada kemajuan ekonomi dalam negeri,” papar Rahmad.

"Sebagai negara berkembang, Pemerintah harus mampu menciptakan lapangan kerja yang mampu menampung para tunas bangsa. Ini merupakan langkah awal, agar negara kita menjadi negara maju," tambah anggota dewan yang membidangi urusan ketenagakerjaan itu.

Rahmad pun menyoroti sistem pengupahan yang dirasa kurang menarik bagi masyarakat produktif untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk lingkungan kerja yang tertib dan lebih menjanjikan dari sisi karir dan faktor-faktor kesejahteraan lainnya.

“Ada banyak yang harus dibenahi mengenai ketenagakerjaan dalam negeri. Karena banyak SDM muda kita tertarik untuk pindah warga negara agar bisa bekerja di sana dengan berbagai alasan, terutama dari sisi pelayanan publiknya,” jelas Rahmad.

Biaya hidup di Singapura memang diketahui cukup tinggi. Namun mahasiswa Indonesia yang memilih pindah warga negara tidak mempersoalkannya karena penghasilan di sana yang juga tinggi, ditambah akses pelayanan yang lebih baik ketimbang Indonesia.

Akses pelayanan tersebut mulai dari sektor kesehatan, transportasi publik mudah, hingga lingkungan yang terjaga. Untuk itu, menurut Rahmad, ada banyak hal yang perlu dibenahi demi menarik generasi muda agar tetap memilih bekerja di tanah air.

"Anak muda sekarang terbilang cukup kritis dalam menata masa depan. Mereka memikirkan baik dan buruk dalam sisi penghasilan dan kesejahteraan, di mana itu menjadi pemicu mereka memilih mencari upah yang terbaik bagi masa depan mereka walaupun harus pindah warga negara," ungkap legislator dari Dapil Jawa Tengah V itu.

Mengutip Trading Economics, upah minimal di Singapura pada triwulan pertama 2023 ini berada di kisaran 7.021 dolar Singapura per bulan atau setara Rp 78,8 juta (kurs Rp 11.233). Angka itu tercatat naik dari 6.622 dolar Singapura per bulan atau setara Rp 74 juta pada kuartal keempat 2022. Informasi Trading Economics ini melansir dari Statistics Singapore.

Sementara berdasarkan laporan yang diterbitkan ceoworld.biz, rata-rata gaji yang didapatkan para pekerja di Singapura yaitu US$ 4.350,79 atau setara dengan Rp 64,4 juta pada 2022.

"Perbedaan penghasilan yang cukup jauh juga mempengaruhi mental dan psikis generasi muda. Ini yang harus diperbaiki Pemerintah, agar kita tidak kalah bersaing dengan negara lain karena anak muda kita tertarik berkarik di luar negeri," tutur Rahmad.

Di sisi lain, Rahmad juga menyoroti alasan sektor kesehatan yang membuat banyaknya mahasiswa pindah kewarganegaraan. Ia berharap dengan UU Kesehatan yang baru saja disahkan DPR, pelayanan kesehatan di Indonesia bisa semakin lebih baik.

“Masalah kesehatan memang sedang krusial, kita sedang memperbaiki sistem pelayanan agar masyarakat merasa aman dan nyaman memilih berobat di tanah air. Dengan UU Kesehatan yang baru disahkan, akan menjadi transformasi sistem kesehatan kita," ujarnya.

Diketahui berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ada 2 juta penduduk Indonesia memilih berobat ke luar negeri. Antara lain sekitar 1 juta orang berobat ke Malaysia dan 750 ribu orang berobat ke Singapura.

Dari sisi devisa, hal tersebut membuat Indonesia kehilangan cukup banyak. Dari sekitar 2 juta orang berobat ke luar negeri, Indonesia kehilangan Rp165 triliun devisa yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan negeri.

Lebih lanjut, Rahmad juga meminta kepada alumnus beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) agar kembali ke tanah air. Dengan pengalaman menimba ilmu di luar negeri, para alumnus akan memiliki peran dalam meningkatkan perekonomian negara.

"Saya berharap khususnya untuk generasi muda, mari sama-sama bergotong royong membangun negeri ini menjadi lebih baik,” sebut Rahmad.

“Untuk para alumnus yang berkuliah di luar negeri, baik dari program Pemerintah atau mandiri, ayo kembali ke ibu pertiwi untuk membangun Indonesia. Mari sama-sama kita berjuang demi kemajuan bangsa dan negara," tutupnya.