JAKARTA - Partai Buruh mengajukan permohonan peninjauan kembali atau judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Dalam permohonan tersebut, kami menguji Pasal 173 ayat (1), Pasal 177 Huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2)," kata koordinator tim Kuasa Hukum Partai Buruh Said Salahudin dalam keterangan tertulis dilansir ANTARA, Senin, 25 Juli.
Menurut Said, Pasal 173 ayat (1) adalah norma yang mengatur mengenai ketentuan verifikasi parpol calon peserta pemilu.
"Kami memohon kepada Mahkamah agar seluruh parpol hanya diwajibkan lolos verifikasi administrasi sebagai syarat untuk ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024," tambahnya.
Said juga mengaku memiliki alat bukti yang bisa meyakinkan MK bahwa verifikasi administrasi sudah cukup berat bagi para parpol calon peserta Pemilu.
"Buktinya, pada pelaksanaan Pemilu 2014 hanya ada satu parpol yang lulus verifikasi administrasi. Ini fakta yang tidak banyak diketahui umum," jelasnya.
Ada pun Pasal 177 Huruf f adalah norma yang mengatur mengenai syarat minimal anggota parpol, yaitu paling sedikit 1.000 atau 1/1.000 orang dari jumlah penduduk di suatu kabupaten dan kota.
"Nah, kami uji norma itu untuk meminta Mahkamah memberi tafsir bahwa yang dimaksud 'penduduk pada setiap kabupaten/kota' adalah masyarakat yang bertempat tinggal di kabupaten dan kota bersangkutan, sekalipun Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) mereka diterbitkan oleh pemerintah kabupaten dan kota yang lain," katanya.
Hal itu sesuai dengan definisi penduduk menurut Pasal 26 ayat (2) UUD 1945.
"Norma itu terpaksa kami uji ke MK karena KPU dan Bawaslu tidak bersedia mengakomodasi usulan Partai Buruh, agar status anggota partai semestinya tidak boleh dibatasi oleh syarat administratif KTP-el semata. Ini yang sangat kami sayangkan. Kebebasan masyarakat untuk menjadi anggota partai pada suatu kepengurusan partai dibatasi oleh penyelenggara pemilu," tuturnya.
BACA JUGA:
Sedangkan Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) adalah norma yang mengatur mengenai kewajiban bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah setiap membuat peraturan.
"Kami uji norma itu karena konsultasi tersebut dimaknai mengikat. Sehingga, penyelenggara pemilu diharuskan tunduk pada kehendak DPR dan Pemerintah. Padahal, KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah organ independen sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945," ucapnya.
Ahli Hukum Tata Negara itu menambahkan dalam perspektif hukum tata negara modern, penyelenggara pemilu seharusnya ditempatkan sebagai cabang kekuasaan keempat disamping eksekutif, legislatif, dan kekuasaan yudikatif.
Sehingga, kekuasaan KPU, Bawaslu, dan DKPP semestinya tidak bisa diintervensi oleh tiga cabang kekuasaan yang lain. Begitu rujukan teori quadru politica sebagai kritik atas teori usang trias politica.
"Nah, konsultasi yang diwajibkan mengikat itu sudah terjadi. Beberapa peraturan yang dibentuk oleh KPU, harus ikut maunya DPR, padahal DPR adalah representasi partai calon peserta Pemilu 2024," tuturnya.
Said mencontohkan pengaturan masa kampanye selama 75 hari yang telah ditetapkan oleh KPU kelak akan dituangkan dalam peraturan KPU (PKPU). Aturan tersebut lahir karena KPU dipaksa tunduk oleh DPR alias partai-partai calon peserta pemilu.
"Ini jelas tidak benar. Kalau masa kampanye diperpendek, maka itu artinya ada hak konstitusional masyarakat yang dikurangi," tegasnya.
Dengan memperpendek masa kampanye, maka ada sanksi pidana pemilu yang bisa mengancam Partai Buruh ketika melakukan sosialisasi di masyarakat setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu.
"Sebab, dalam UU Pemilu terdapat ketentuan pidana bagi parpol yang melakukan kampanye di luar jadwal, baik sebelum maupun sesudah masa kampanye. Di sini masalahnya," ujar Said Salahudin.