Kemendag Ungkap Lima Tantangan Penyebab Produk Halal Indonesia Sulit Bersaing di Pasar Global
Kementerian Perdagangan (Twitter @Kemendag)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur pengembangan produk ekspor Kementerian Perdagangan Olvy andrianita mengatakan, pasar ekspor produk halal belum terjamah secara luas. Meski pun Indonesia sudah berhasil menjual ke negara-negara muslim (OKI) dan nonmuslim.

Olvy mengatakan, ada lima tantangan yang menjadi penyebabnya produk halal Indonesia sulit bersaing di pasar global. Pertama, karena potensi Industri halal belum dioptimalkan. Kedua, Indonesia belum fokus pada peningkatan ekspor produk halal.

"Indonesia kalah saing dengan negara penduduk nonmuslim yang mengembangkan produk serupa seperti Brasil, Afrika, dan Thailand," katanya, dalam acara ISEF, Kamis, 29 Oktober.

Keempat, kata Olvy, Indonesia saat ini tercatat sebagai konsumen nomor 1 produk halal. Namun, menduduki peringkat 10 sebagai negara produsen halal di dunia. Sehingga ini menjadi tantangan untuk mengubah paradigma pelaku industi halal dalam negeri.

"Kita harus ubah paradigma. Kita bisa ekspor produk halal ke negara muslim dan non muslim karena di negara non muslim banyak masyarakat muslim yang perlu produk halal, berkualitas, dan higienis," tuturnya.

Berdasarkan data yang dipaparkan, Olvy mengatakan, Brasil menduduki peringkat pertama eksportir makanan ke negara OKI sebesar 10,51 persen, dan Thailand 8,15 persen. Disusul Turki 5,76 persen, India 5,5 persen, dan China 4,97 persen. Sedangkan Indonesia masih menduduki peringkat ke-20 yaitu hanya 1,86 persen.

Untuk ekspor kosmetik ke negara-negara OKI, Prancis menduduki peringkat pertama dengan pangsa pasar mencapai 17,38 persen lalu disusul Amerika Serikat 7,57 persen, Jerman 7,05 persen, Italia 5,5 persen, dan China 5,08 persen. Sedangkan Indonesia berada di urutan 23 yaitu 1,41 persen.

Sementara ekspor obat-obatan, Jerman menjadi negara paling banyak menduduki urutan pertama 13,8 persen, Prancis 11,58 persen, Swiss 9,4 persen, India 7,8 persen, dan AS 6,9 persen. Sedangkan Indonesia urutan 48, pangsa pasarnya hanya 0,12 persen.

Meski begitu, selama 2015-2019, tren ekspor makanan Indonesia ke negara OKI meningkat 5,51 persen, obat-obatan 4,76 persen, dan kosmetik 0,77 persen.

"Produk-produk halal pada masa seperti saat ini tantangannya tentu lebih berat dibandingkan sebelum pandemi. Potensi industri sebelumnya mudah mendapatkan bahan baku, saat ini mengalami sedikit kesulitan karena ada beberapa negara yang logistiknya juga terganggu. Di Indonesia sendiri ekspor kita juga sulit mendapatkan kapal," tuturnya.

Terakhir, kata Olvy, tantangan yang dihadapi adalah masih banyaknya pelaku usaha terutama UMKM belum melakukan sertifikasi halal. Tidak semua pelaku usaha bisa mendapatkannya karena terganjal biaya dan tarif.

"Sertifikasi halal juga tidak mudah kemudian banyak juga pelaku bisnis terutama UMKM yang masih kesulitan mendapatkan itu bukan dengan produknya itu sendiri, bukan halalnya. Tetapi produknya entah itu berkaitan dengan tarif. Ini semua yang menunjukkan parameter bahwa tantangan itu ada," jelasnya.

Meski banyak tantangan yang menghambat perdagangan produk halal Indonesia, potensinya masih ada dan sangat besar jika dikembangkan secara serius. Peluang itu bisa dilihat dari kebutuhan konsumsi produk halal dunia yang terus meningkat.

"Masyarakat muslim juga semakin meningkat. Jadi kalau kita perhatikan, kalau kita ke luar negeri, kita ingin mencari produk halal itu tidak mudah," ucapnya.

 Direktur pengembangan produk ekspor Kementerian Perdagangan Olvy andrianita (Mery Handayani/VOI)

Kata Olvy, tren ini membuat produk halal semakin variatif yang bisa diperoleh lewat berbagai perdagangan baik offline maupun online. Selain itu, Kemendag juga melakukan berbagai perjanjian perdagangan internasional agar hubungan baik dan timbal balik ke negara lain semakin erat.

Strategi yang dilakukan Kemendag untuk meningkatkan ekspor produk halal, kata Olvy, dengan fokus pada produk halal yang dibuat harus mengacu pada nilai tambah disertai dengan konten food safety dan kehalalannya.

"Misalnya, ketika ingin produksi produk halal, Kemendag dan pelaku bisnis ingin fokus pada pasar yang dibikin ke OKI dan non OKI. Yang negara non OKI seperti turis dan imigran butuh produk halal. Ini peluang yang harus diambil," ujarnya.

Kemendag, kata Olvy, juga mempunyai program peningkatan daya saing. Salah satunya memperkuat desain untuk branding produk lebih kuat. Kemendag juga menyiasati agar tembus pasar global dengan membentuk good design Indonesia. "Kita juga adakan trade expo. Jadi banyak jang yang dilakukan Kemendag," jelasnya.