Bagikan:

JAKARTA - Armenia dan Azerbaijan saling tuduh dalam pelanggaran gencatan senjata terbaru di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh. Serangan berbalas terjadi beberapa menit setelah gencatan senjata diberlakukan, Senin, 26 Oktober.

Gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat (AS) itu diumumkan di Washington pada Minggu, 25 Oktober. Gencatan senjata itu mulai berlaku pada 08.00 waktu setempat. Lalu, serangan kembali terjadi tak lama setelahnya.

Pertempuran itu memperpanjang rangkaian bentrokan antara dua kubu yang meletus sejak 27 September di sekitar pegunungan. Beberapa hari belakangan, konflik kembali memanas.

Pengumuman tersebut menyusul diskusi antara Deputi Menteri Luar Negeri AS Stephen Biegun, Menteri Luar Negeri Armenia Zohrab Mnatsakanyan dan mitranya dari Azerbaijan Jeyhun Bayramov. Departemen luar negeri AS mengatakan kesepakatan dicapai setelah negosiasi yang intens. Presiden AS Donald Trump, hari Minggu, 25 Oktober memberi selamat kepada mereka yang terlibat dalam gencatan senjata.

Serangan pasca-gencatan senjata itu diawali dari serangan yang dituduhkan Azerbaijan kepada pasukan Armenia. Azerbaijan mengatakan Armenia telah menembaki Kota Terter dan sejumlah desa terdekat lain.

Azerbaijan pun membalas dengan menyebut serangan Armenia sebagai "pelanggaran berat perjanjian." Sebaliknya, Kementerian pertahanan Armenia mengatakan artileri Azerbaijan telah menembaki posisi militer di berbagai bagian garis depan setelah perjanjian gencatan senjata dimulai.

Dalam sebuah unggahan di Facebook, Presiden Armenia Nikol Pashinyan menegaskan negaranya "terus dengan ketat mematuhi rezim gencatan senjata." Hikmet Hajiyev, juru bicara Presiden Azerbaijan mengatakan Armenia berusaha untuk "mempertahankan status quo berdasarkan pendudukan," seraya menegaskan sikap Azerbaijan yang "sedang menahan diri."

Mediator dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) juga akan melakukan pertemuan kembali pada Kamis, 29 Oktober untuk membahas konflik tersebut. Dua gencatan senjata sebelumnya yang ditengahi oleh Rusia telah gagal dilaksanakan.

Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev juga telah memeringatkan Rusia agar tidak terlibat secara militer dalam konflik tersebut. Nagorno-Karabakh diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan tetapi berada di bawah kendali etnis Armenia.

Bentrokan yang dimulai di wilayah itu pada bulan September dengan cepat meningkat menjadi konflik skala besar, dengan penembakan terhadap kota-kota dan dugaan penggunaan munisi tandan yang dilarang. Beberapa ribu orang tewas dan penembakan telah menewaskan warga sipil di kedua sisi. Puluhan ribu orang telah meninggalkan rumah mereka.