Ragam Kritik untuk Jaksa Agung Usai Sebut Korupsi Rp50 Juta Cukup Kembalikan Kerugian Keuangan Negara
Jaksa Agung ST Burhanuddin/Foto: Humas Kejagung

Bagikan:

JAKARTA - Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin disorot banyak pihak usai menyebut pelaku korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan di bawah Rp50 juta tidak perlu diproses. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut mengkritisi pernyataan yang terlontar saat rapat dengar pendapat (RDP) antara Jaksa Agung dengan Komisi III DPR RI.

Dalam rapat dengar pendapat pada Kamis, 27 Januari lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan dirinya meminta jajaran tidak memproses hukum pelaku korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta.

Burhanuddin menyebut langkah tersebut diambil agar tersangka mengembalikan kerugian uang negara. Tak hanya itu, dia yakin upaya ini dapat mempercepat, menyederhanakan proses hukum dengan biaya ringan.

Setelah menyampaikan hal tersebut, Burhanuddin menuai kritik termasuk dari Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Menurutnya, tidak diprosesnya pelaku korupsi yang menimbulkan kerugian negara di bawah Rp50 juta justru bak buah simalakama.

Penyebabnya, bukan tidak mungkin pelaku korupsi nantinya bisa semakin banyak. "ICW meyakini pernyataan Jaksa Agung itu akan semakin menambah semangat para pelaku untuk melancarkan praktik korupsi karena tidak akan diproses hukum," ungkap Kurnia.

Selain itu, apa yang disampaikan oleh Burhanuddin dianggap Kurnia tidak didasari argumentasi yang kuat. Apalagi, hingga saat ini, Pasal 4 Undang-Undang tentang Penghapusan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) masih berlaku di mana pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pemidanaan pelaku tindak pidana.

“Patut diingat mengembalikan dana hasil praktik korupsi hanya dapat dijadikan dasar untuk memperingan tuntutan dan hukuman, bukan malah tidak ditindak,” ujar pegiat antikorupsi itu.

Tidak hanya ICW saja yang angkat bicara soal pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Lembaga yang sama-sama menangani praktik korupsi, KPK, juga menegaskan berapa pun nilai uang negara yang dikorupsi harus ditangani oleh aparat penegak hukum. Bahkan, jika kerugian negaranya tidak mencapai Rp50 juta.

"Negara kita adalah negara hukum yang pembentuknya adalah DPR dan pemerintah. Selama hal tersebut tidak diatur dalam UU kita sebagai penegak hukum tidak bisa berkreasi membiarkan korupsi di bawah Rp50 juta," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 28 Januari.

Ghufron paham proses hukum memang harus mempertimbangkan anggaran dan manfaat, terutama untuk kasus korupsi dengan kerugian negara kecil. Dia juga mengamini jika biaya pengusutan satu kasus korupsi dari penyelidikan hingga pengadilan termasuk banding dan kasasi bisa lebih dari Rp50 juta.

Namun, dirinya mengingatkan aspek penegakan hukum ini juga harus mengedepankan pemberian efek jera. Sehingga, berapa pun jumlah kerugian negara akibat korupsi, kata Ghufron, harus tetap diusut hingga tuntas.

"Aspek hukum bukan sekadar tentang kerugian negara namun juga aspek penjeraan dan sebagai pernyataan penghinaan terhadap perilaku tercela yang tidak melihat dari berapapun kerugiannya," tegasnya.

Mendapat kritikan banyak pihak, termasuk KPK membuat Kejaksaan Agung angkat bicara. Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan Jaksa Agung Burhanuddin memang memberikan imbauan kepada jajaran soal korupsi di bawah Rp50 juta agar diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara.

Hal ini disebut upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan. Leonard mengingatkan analisis nilai ekonomi tidak boleh luput dari perhatian aparat penegak hukum.

Sama seperti Ghufron, dia mengatakan biaya operasional penanganan kasus bisa mencapai Rp50 juta lebih. Sehingga, jika kasus korupsi yang ditangani hanya menimbulkan kerugian negara di bawah Rp50 juta dianggap tak sepadan.

"Dapat dibayangkan korupsi Rp50 juta harus ditangani oleh aparat penegak hukum (dari penyidikan sampai dengan eksekusi, red) dengan biaya operasional penanganan perkara yang dikeluarkan oleh negara bisa melebihi dari Rp50 juta dari kerugian negara yang ditimbulkan tersebut," kata Leonard lewat keterangan tertulis, Jumat, 28 Januari.

Selain tak sepadan, hal ini dipastikan akan menjadi beban pemerintah ke depannya. Sebab, ada biaya yang harus dikeluarkan dari biaya makan, minum, dan sarana lainnya.

"Artinya, analisis cost and benefit penanganan perkara tindak pidana korupsi juga penting menjadi pertimbangan dalam rangka mencapai nilai keadilan masyarakat dan nilai kemanfaatan hukum,” papar Kapuspenkum.

"Adapun penjelasan di atas, merupakan respons Bapak Jaksa Agung RI dan imbauan yang sifatnya umum untuk menjadi pemikiran bersama dan diperoleh solusi yang tepat dalam penindakan tindak pidana korupsi yang menyentuh baik pelaku dan masyarakat di level akar rumput, yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan untuk menggarong uang negara, dan nilai kerugian keuangan negaranya pun relatif kecil,” pungkas Leonard.