Melestarikan Keagungan Harry Roesli Tetap Menyala
JAKARTA - Hari ini, tepat 15 tahun sejak kepergian Harry Roesli. Karyanya tetap abadi. Lamunai Records, salah satu label rekaman independen Indonesia maju melestarikan karya Sang Profesor. Nama Harry Roesli tak pernah padam. Sebagaimana pesan sebelum kematiannya.
Jika ada permintaan terakhir Harry Roesli jelang kematiannya, barangkali itu adalah pesan agar lampu di ruang kerjanya tak dipadamkan. Begitu setidaknya cerita yang beredar di kalangan keluarga dan para pecinta karyanya.
Beberapa waktu setelah pesan itu diamanatkan, Harry Roesli mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Jalan Supratman 57 Bandung. Alamat itu adalah tempat yang sama di mana Harry Roesli hidup bersama komunitas seni beranggotakan para seniman jalanan. Komunitas yang diberi nama Depot Kreasi Seni Bandung.
Dari rumah nomor 57 itu juga berbagai karya musik Harry Roesli lahir. Musik yang tak hanya mendalam, tapi juga progresif dan penuh eksperimen pada masa itu. Harry Roesli ditahbiskan banyak orang sebagai fondasi berdirinya budaya musik kontemporer. Harry Roesli bahkan dinobatkan sebagai Profesor Pendidikan Musik Pertama Indonesia oleh Museum Rekor Indonesia (MURI).
Dan yang terpenting, musik Harry Roesli yang sarat kritik sosial membawa pengaruh besar sebagai nyawa pembela nasib masyarakat pinggiran hari itu. Musik Harry Roesli dipenuhi dengan semangat pemberontakan. Pria gondrong berlogat Sunda itu memang dikenal sebagai sosok yang doyan berontak. Lagu-lagunya di era Orde Baru bahkan kerap dijegal penguasa.
Dengar saja salah satu lagunya yang berjudul Malaria rilisan 1973. Mendiang Denny Sakrie bahkan menyebut lagu itu sebagai metafora yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia saat itu. Lagu itu dirilis Harry Roesli bersama bandnya, The Gang of Harry Roesli dalam album "Philosophy Gang". Lagu lainnya, Ciociocio Werkewer sama kerasnya.
Dalam lagu itu, Harry Roesli bernyanyi dengan iringan musik orkes. Lirik-liriknya menjuruskan sindiran ke banyak nama dalam lingkar kekuasaan. Sebut saja Akbar Tanjung hingga buronan paling terkenal, Eddy Tansil, pengusaha keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta pada 4 Mei 1996.
Terakhir, pada tahun 2001, Harry Roesli bahkan harus berurusan dengan polisi karena menyanyikan plesetan lagu Garuda Pancasila. Anak Harry Roesli, Layala Khrisna Patria sempat menceritakan situasi penuh teror yang dijalani Harry Roesli sepanjang karier musiknya. Di zaman Orde Baru, khususnya. Saat itu, Harry Roesli selalu menggunakan tayangan video berisi kumpulan artikel-artikel tentang tragedi Trisakti sebagai latar di setiap penampilannya.
"Saat itu media besar memberitakan seakan-akan di video ketahuan siapa yang tembak. Sejak itu bapak diteror terus, setiap manggung jadinya dipakaikan anti peluru ... Takut banget pas itu, karena kami tahu niat bapak hanya mencurahkan kejadian itu tapi orang-orang menyikapinya sampai mau membunuh," kata Layala kepada CNN Indonesia, tahun lalu.
Jiwa pemberontakan Harry Roesli tumbuh sejak ia kecil. Harry Roesli adalah anak dari Roeshan Roesli, seorang Mayor Jenderal Purnawirawan TNI. Ibunya adalah Dokter bernama Edyana. Meski hidup bergelimang kemewahan. Harry Roesli resah. Kecintaannya pada musik ditentang habis kedua orang tuanya. Namun, ia cukup beruntung karena tiga saudara kandungnya berdiri di sisinya. Ia pun akhirnya diberi izin bermain musik dengan syarat pendidikannya terus berjalan.
Musik
Dengar saja musik Harry Roesli. Kamu pasti menyukainya. Kalau pun tidak, kamu akan dibuat kagum oleh musikalitasnya. Atau setidaknya mesam-mesem tergelitik oleh liriknya yang jenaka. Di awal kemunculannya, musik Harry Roesli banyak dipengaruhi oleh Rolling Stone, Gentle Giant, hingga Frank Zappa. Debut musiknya ia jalani bersama band ala-ala Rolling Stone bernama Batu Karang.
Langkah besar Harry Roesli terjun ke dunia musik adalah ketika ia kuliah Teknik Mesin di Institut Teknik Bandung (ITB). Di kampus, ia membentuk band bernama The Gang of Harry Roesli. Band itu ia dirikan bersama Albert Warnerin, Iwan A Rachman, dan Indra Rivai pada tahun 1970. Setahun berjalan, The Gang of Harry Roesli menelurkan album debut bertajuk "Philosophy Gang".
Banyak hal gila di balik sepak terjang The Gang of Harry Roesli. Indra Rivai bercerita pada CNN Indonesia bahwa nama The Gang of Harry Roesli muncul tiba-tiba ketika proses penggarapan album selesai. "Kami berangkat ke Jakarta, tidur di rumahnya. Rekaman ngulik di sana, lalu berunding nama bandnya ini itu. Dia hanya diam."
"Ketika albumnya selesai, tiba-tiba sudah tercetak nama Gang of Harry Roesli ... Enggak ada yang protes, wong sudah jadi album dan cover-nya," kenang Indra.
Hal menarik lain diungkap Indra soal proses mixing album "Philosophy Gang". Saat itu, Harry selalu menyebut nama Lion Record sebagai studio tempat mereka melakukan mixing album. Lucunya, Indra menyebut nama Lion Record hanya rekayasa Harry Roesli. Entah bagaimana kebenarannya. Yang jelas, nama Lion Records terpampang di sejumlah platform streaming musik online sebagai studio di balik "Philosophy Gang" hingga hari ini.
"Dia bilang mixing di Lion Record di Singapura, karena dulu kan gaya juga bisa sampai di sana. Namun lama-lama ketahuan kalau Lion Record itu enggak ada, itu hanya toko kelontong di sana ... Dia memang konyol. Dulu tuh buat kita bisa rekaman di studio terkenal seperti Musica sudah cukup. Tapi, ya dulu kan keren aja mungkin bisa sampai ke luar negeri," kata Indra.
Terlestarikan
Beruntunglah generasi penerus karena karya Harry Roesli lestari hingga hari ini. Lamunai Records, salah satu label rekaman independen asal Jakarta adalah pihak yang patut diapresiasi. Keputusan merilis ulang dua album Harry Roesli adalah langkah yang penuh bakti terhadap karya musik lokal.
Pada 2017 lalu, Lamunai Records merilis ulang "Philosophy Gang" ke dalam berbagai medium, baik digital atau pun fisik. Perilisan album legendaris itu diikuti dengan perilisan album bersejarah lain milik Harry Roesli pada Agustus 2019 lalu: "Opera Rock 'Ken Arock'".
Mewakili Lamunai Records, Rendi Pratama menyebut karya-karya Harry Roesli sebagai tonggak penting perkembangan musik Indonesia. Dan Lamunai Records tak akan berhenti di "Opera Rock 'Ken Arock'". Menurut Rendi, Lamunai Records tengah mempersiapkan perilisan ulang album Titik Api pada awal tahun depan.
"Kita milih dua album (Philosophy Gang dan Rock Opera 'Ken Arock') karena dua itu merupakan dua album awal dari Harry Roesli Gang. Rencana mau rilis album 'Titik Api' juga awal tahun depan biar lengkapin trilogi Harry Roesli Gang," kata Rendi kepada VOI, Rabu, 11 Desember.
Menurut Rendi, trilogi The Gang of Harry Roesli adalah jembatan bagi perkembangan musik Indonesia di era-era lanjutan. "Tiga (album) awal juga merupakan konsep musik baru pada saat itu di Indonesia. Jadi, mungkin gang ini bisa dibilang lebih maju pada era tersebut. Tiap album punya style yang beda," kata Rendi.
Buat Lamunai Records, melestarikan karya Harry Roesli adalah mengabadikan keagungan. Keagungan yang berhak dinikmati oleh setiap generasi kehidupan. "Karena targetnya memang nyebarin buat pendengar sekarang atau pendengar muda," kata Rendi.