Mengenang Peter A. Rohi, Jurnalis yang Patut Diteladani
JAKARTA - Kabar duka datang dari kalangan jurnalis. Wartawan senior dan tokoh pers Peter A. Rohi meninggal dunia, Rabu, 6 Juni pukul 6.45 WIB, di Rumah Sakit Saint A Paulo RKZ, Jalan Diponegoro, Surabaya.
Rasanya tidak cukup dalam satu artikel ini menceritakan sosoknya. Namun, pria yang lahir pada 14 November 1942 di Nusa Tenggara Timur ini sosoknya patut diteladani.
Bagaimana tidak, Peter merupakan wartawan yang gigih. Thoman Hutasoit, teman seprofesinya berbagi sedikit cerita tentang Peter. Kepada VOI, Thoman bercerita bahwa Peter adalah seorang Sukarnois sejati.
Peter sangat menggeluti penelusuran terkait jejak Presiden RI pertama tersebut. Bahkan dia menulis dua buku tentang Soekarno yang berjudul Soekarno Sebagai Manoesia dan Ayah Bunda Bung Karno.
Semasa bekerja di Koran Suara Pembaruan, Peter juga menyimpan banyak karya tulis Soekarno, salah satunya adalah kumpulan karya drama yang dibuat Soekarno saat mendekam di penjara pengasingan di Ende, NTT.
Sayangnya, masa itu adalah zaman Orde Baru. Di mana sangat sulit mengulik kisah Soekarno dan karya-karyanya untuk diungkap ke publik.
"Jadi, dokumennya Bung Karno disimpan begitu saja di rumah. Dia kan sangat sederhana, saya enggak tahu dokumentasinya di simpan di mananya," tutur Thoman kepada VOI, Rabu, 10 Juni.
Thoman bercerita, Peter adalah wartawan pengelana yang gigih untuk terus mempertahankan kerja jurnalistiknya. Thoman pertama kali mengenal Peter saat bekerja di Suara Pembaharuan pada tahun 1990-an. Saat itu, Peter sudah tahunan bekerja di sana.
"Lalu kami bersama pindah dari Suara Pembaharuan pada tahun 2000-an dan mendirikan koran sore Suara Bangsa, tapi beberapa tahun kemudian koran ini mati. Lalu, dia pindah lagi merintis Sinar Harapan yang baru," tutur Thoman.
Sejak itu, Thoman sudah jarang berkomunikasi dengan Peter. Sesekali, mereka saling memberi kabar. Ada saja hal unik yang diceritakan Peter, kata Thoman. Contohnya saat ia membuat kursi dari kumpulan tulisan dia di koran.
"Orang ini punya keunikan. Jadi, dia menyimpan tulisan-tulisan dia yang diterbitkan di koran. Kliping tulisan tersebut dijadikan kursi, jadi tempat duduk tamu di rumahnya di Surabaya," katanya.
Meneladani kerja Peter
Peter, bagi Thoman, bukanlah wartawan biasa. Dalam menggeluti kerja jurnalistik investigasi, Peter lihai dalam menggali suatu kasus secara mendalam. Semangat hidup yang bisa dipelajari dari Peter, kata Thoman, adalah bisa membuat hal kecil menjadi besar lewat proses investigasi yang dilakukan. "Naluri jurnalistiknya luar biasa," ujarnya.
Ada satu pengalaman hidup yang paling mengesankan Thoman saat kerja bersama Peter. Pada tahun 1990-an, Peter mendengar kabar adanya kapal yang tenggelam di dasar laut Indonesia dan menyimpan benda antik semacam porselen.
Peter lalu mengajak Thoman menginvestigasi kasus ini. Rasa sulit jelas dirasa Thoman untuk mencari informasi soal kasus tersebut karena minimnya sumber yang bisa digali.
"Kami berbulan-bulan menulis tentang harta karun di laut Indonesia, kabarnya itu kapal dari China yang membawa porselin dinasti di sana. Kasus begini kan tidak gampang informasinya. Tapi, dia bisa ungkap itu menjadi berita besar dan diulas tiap hari menjadi tulisan seri di koran sore," ungkap dia.
Tulisan Peter saat itu akhirnya menghebohkan publik. Harta karun yang diberitakan itu jadi perebutan dan menjadi pertanyaan siapa yang berhak memiliki harta itu. Sebab, benda antik yang tersimpan di dasar laut tersebut bisa diperjualbelikan dan menghasilkan uang. Akhirnya, TNI Angkatan Laut semasa itu menerjunkan tim untuk meneliti harta karun di laut yang diungkap Peter.
"Jadi, dia bukan reporter biasa menurut saya," tutupnya.