Miris! Takut Kehilangan Upah, Buruh Terpaksa Tetap Masuk Kerja meski Positif COVID-19

JAKARTA - Kasus COVID-19 di Tanah Air terus mengalami penambahan dalam beberapa waktu terakhir ini. Namun, ironisnya sejumlah buruh di Indonesia disebut terpaksa tetap masuk kerja meski dalam status terpapar atau positif COVID-19.

Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti mengatakan saat ini banyak perusahaan yang mengubah status buruhnya menjadi pekerja kontrak atau borongan. Dengan perubahan status itu membuat pemberian upah buruh sesuai dengan absensi harian kerjanya.

Lebih lanjut, Dian mengatakan bila tidak masuk kerja mereka khawatir tidak dapat upah. Karena kondisi ini lah para buruh memaksa diri untuk tetap bekerja meskipun sudah positif COVID-19.

"Pekerja kontrak dan borongan akan terpaksa tetap bekerja, meski sakit, karena takut kehilangan upah. Klaster pabrik sangat agresif, buruh TGSL (tekstil, garmen, sepatu, dan kulit), dalam dua minggu saja di Cakung, Tangerang, Subang, dan Solo ribuan anggota kita terpapar," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 19 Juli.

Tak dapat upah

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK-KSPSI) Helmy Salim mengatakan bahwa sudah banyak bukti dari laporan buruh di lapangan yang mengaku bila harus isolasi mandiri di rumah mereka tak mendapatkan upah.

"Ini memang faktanya seperti itu, jadi memang mereka cenderung memilih masuk. Mereka mengambil risiko masuk walaupun dalam keadaan sakit, toh mereka pikir gejala juga tidak seberapa," kata Helmy.

Lebih lanjut, Helmy mengatakan hal tersebut yang menyebabkan buruh nekat tetap bekerja meski dalam kondisi positif COVID-19 lantaran adanya kekhawatiran.

"Ya pertama memang motivasi buruh masuk bekerja karena takut enggak mendapatkan upah. Benar itu. Banyak kan mereka yang dirumahkan tanpa upah. Jadi ada kekhawatiran walaupun dia tidak masuk upahnya dibayar apa enggak? Tidak ada kepastian untuk itu," tuturnya.

Menurut Helmy, buruh tidak akan nekat pergi bekerja bila dalam kondisi positif COVID-19 dengan gejala yang berat.

"Kecuali kalau memang udah gejala demam batuk banget terpaksa enggak bisa masuk. Baru suspek misalnya dia tetap masuk. Setelah banyak contoh di perusahaan itu banyak teman-teman dirumahkan tanpa upah," katanya.

Helmy mengakui memang ada sejumlah perusahaan yang memberikan fasilitas kesehatan di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang kepada para buruh. Namun, tidak semua perusahaan memberikan hal itu kepada buruh.

Sementara itu, Ketua Bidang Luar Negeri FSP TSK KSPI Dion Untung Wijaya menyinggung aturan dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja yang membuat para buruh memaksakan untuk tetap bekerja dalam kondisi yang tak sehat.

Kata Dion, di dalam UU tersebut banyak buruh di-PHK kemudian diberi pesangon dan hanya dijadikan sebagai harian lepas.

"Dengan status seperti itu walaupun mereka terpapar mereka tetap memaksakan diri untuk tetap bekerja karena kalau nggak bekerja dengan status tersebut tidak mendapatkan upah," tuturnya.

Karena itu, Dion pun berharap masalah ini bisa dapat diselesaikan. Terutama pemerintah dalam hal ini bisa lebih memperhatikan terkait masalah yang ada.

"Jadi di sini peran pemerintah untuk bisa seimbang untuk sama-sama mengatasi pandemi ini. Pihak perusahaan pun harus memperhatikan karyawannya yang terpapar, tempat kerjanya, prokes diperketat, penyediaan tempat cuci tangan, pembagian vitamin, dan pengaturan tempat kerja. Itu juga harus dijalankan semua oleh pihak perusahaan, jangan jadi seperti sekarang ini," ucapnya.