Donald Trump Kembali Berkuasa, Indonesia Gabung BRICS adalah Blunder?

JAKARTA – Keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS dinilai terlalu buru-buru. Apalagi dengan pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat maka bergabungnya Indonesia dengan BRICS disebut-sebut sebagai sebuah kesalahan.
Indonesia telah resmi bergabung dengan blok ekonomi yang diisi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan atau dikenal dengan sebutan BRICS mulai Senin (6/1/2025). Pengumuman status Indonesia sebagai anggota tetap BRICS disampaikan pemerintah Brasil dalam rilis resmi. Mereka mengatakan seluruh anggota menyetujui konsesi negara Asia Tenggara ini ke blok tersebut.
Indonesia memang menyampaikan ketertarikan untuk bergabung ke forum ekonomi itu saat hadir di pertemuan puncak BRICS di Kazan, Rusia pada Oktober 2024.
Bergabungnya Indonesia dengan BRICS dinilai banyak kalangan sebagai awal baik bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Menteri Luar Negeri Sugiono mengatakan, bergabungnya Indonesia bersama BRICS membuat kiprah bangsa ini semakin diakui oleh dunia.

Namun dari sudut pandang pengamat ekonomi, menilai ada potensi ketegangan geopolitik yang muncul karena persaingan AS dan China makin intensif.
Gertakan Trump
Menlu Sugiono dalam beberapa kesempatan menegaskan, Indonesia bergabung ke BRICS sebagai bentuk realisasi polisik bebas aktif. Selain itu, Indonesia juga tergabung dalam forum G20, yang anggotanya mencakup AS, China, dan Rusia.
Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa AS dan China berselisih dalam banyak hal, mulai dari perdagangan, teknologi, hingga isu di kawasan Asia Pasifik seperti Laut China Selatan dan Taiwan. Relasi AS dan Rusia juga memburuk setelah invasi Negeri Beruang Merah ke Ukraina sejak 2022. BRICS disebut-sebut sebagai forum ekonomi tandingan G&, yang isinya sekutu-sekutu AS.
Presiden AS Donald Trump, yang baru dilantik pada Senin (20/1/2025), mengancam akan memberlakukan tarif 100 persen bagi negara-negara anggota BRICS jika mereka mengganti dolar AS dalam perdagangan internasional.
“Negara-negara BRICS mencoba untuk menjauh dari dolar dan mereka berpikir kita hanya diam dan menonton,” tegas Trump lewat akun pribadi Truth Social pada 30 November 2024.
Tak hanya itu, Trump juga meminta komitmen negara-negara BRICS tidak menciptakan mata uang baru atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan dolar AS. Jika tidak, maka akan berhadapan dengan ancaman tarif impor 100 persen.
Pernyataan Trump ini adalah reaksinya dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS terakhir yang digelar di Kazan, Rusia pada November 2024. Dalam pertemuan tersebut, negara-negara anggota BRICS membahas peningkatan transaksi-transaksi non-dolar AS dan penguatan mata uang lokal.
Sejak awal berdiri pada 2009, BRICS dipandang sebagai kelompok yang ingin menentang dominasi Barat. Salah satu hal yang menjadi perhatian BRICS adalah sistem keuangan global yang lebih inklusif. Mereka ingin mengurangi dominasi dolar AS yang selama ini menjadi mata uang utama dalam perdagangan dan investasi dunia.
Gertakan Donald Trump terhadap negara-negara BRICS tak boleh dianggap angin lalu, kata ekonom Direktur China-Indonesia Desk Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat. Menurutnya, keanggotaan Indonesia di BRICS bisa menimbulkan risiko, salah satunya adalah menjadi target proteksinonisme dagang Presiden AS Donald Trump.
"Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena ia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya,” ujar Zulfikar.
“Jika, AS memberlakukan tarif 100 persen pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut, tidak bisa dipungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah,” ia menambahkan.
Keuntungan Ekonomi Belum Jelas
Dikatakan Zulfikar, pemerintah perlu mewaspadai risiko ini, karena akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek dan menengah.
“Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volum ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS," ungkap Zulfikar.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mencatatkan surplus dalam neraca perdangan dengan Amerika Serikat. Ini karena nilai ekspor Indonesia ke AS lebih besar dibandingkan nilai impor. Angka ekspor Indonesia ke AS baru meningkat setelah tahun 2020, usai periode pertama Trump berakhir.
Idil Syafwi, yang merupakan pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, menuturkan, jika kebijakan tarif 100 persen benar-benar diterapkan oleh Trump, maka akan menjadi kerugian bagi Indonesia mengingat sebagian besar ekspor Indonesia ke AS adalah bahan baku mentah.
Selain itu, dengan bergabung ke BRICS justru menimbulkan kekhawatiran terkait pandangan AS. Indonesia kemungkinan dianggap AS lebih condong menjadi “bagian dari kelompok revisionis” dibandingkan “mendukung status quo yang pada saat ini adalah Amerika Serikat”.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra menilai keanggotaan di BRICS lebih berpotensi merugikan Indonesia.
"Keuntungan ekonominya (bergabung ke BRICS) masih belum jelas. Sementara kerugiannya geopolitiknya sudah di depan mata,” ujar Radityo di akun X pribadinya.
Baca juga:
- Tren Berburu Koin Jagat adalah Masalah Struktural, Bukan Sekadar Perusakan Fasilitas Umum
- Jejak Sertifikat HGB di Atas Laut di Tangerang Masih Misteri, Negara Tak Boleh Kalah dari Individu atau Kelompok
- Jangan Manfaatkan DNA Gotong Royong Rakyat Indonesia untuk Danai Program Makan Bergizi Gratis
- Raline Shah Perpanjang Daftar Artis di Pemerintahan, Tren Kabinet Obesitas Berlanjut
Untuk itu, Radityo menekankan pentingnya terus membangun dialog dengan AS demi meyakinkan Negeri Paman Sam bahwa Indonesia tidak berniat buruk dengan bergabung ke BRICS.
Salah satunya adalah dengan memiliki diplomat-diplomat andal yang bisa menavigasi hubungan dengan AS. Sayang sampai sekarang, kata Radityo, posisi duta besar Indonesia di AS kosong sejak beberapa waktu dan tidak ada tanda-tanda akan segera ditunjuk.