Pemerintah Perlu Waspadai jadi Target Proteksi AS Usai Gabung BRICS
JAKARTA - Indonesia resmi mengikuti jejak beberapa negara dari kawasan Middle East and North Africa (MENA) memperpanjang list anggota negara yang bergabung dengan blok ekonomi terbesar Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS).
Hal ini telah diumumkan secara resmi di Kementerian Luar Negeri Brasil, Sao Paulo sekaligus menjadi lanjutan rangkaian episode prosesi bergabungnya Indonesia ke aliansi tersebut, yang sebelumnya dimulai pada Oktober tahun lalu, setelah kehadiran Menlu Sugiono di Kazan.
Adapun di dalam negeri sendiri, bergabungnya Indonesia dengan BRICS bahkan masih menimbulkan pro kontra.
Beberapa pengamat berpendapat aliansi ini akan menjadi penyeimbang G7 yang beranggotakan Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang.
Sebagai anggota grup BRICS yang baru, Indonesia berpeluang untuk berpartisipasi dalam solidaritas negara Global South dalam mengurangi hegemoni Barat yang ada saat ini.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kepesertaan Indonesia di BRICS bisa dinilai sebagai upaya memperkuat hubungan tidak hanya dengan China, tapi dengan Brasil dan Afrika Selatan maupun negara timur tengah.
Menurut Bhima, pemerintah sebaiknya tidak melihat BRICS hanya agenda China saja, tapi ada potensi besar dengan negara Brasil terkait ekonomi restoratif, hingga Afrika Selatan soal pengembangan transisi energi bersih.
"Jika terlalu pro-China maka keanggotaan Indonesia di BRICS sebenarnya sia-sia mereplikasi hubungan ekonomi dengan China yang sudah terlalu dominan.” kata Bhima dalam keterangannya, Rabu, 8 Januari.
Di sisi lain, Bhima menyampaikan, aliansi BRICS tidak begitu memberikan keuntungan untuk Indonesia karena ekonomi China diproyeksikan akan melambat terutama pasca kembali terpilihnya Donald Trump yang memicu proteksionisme dagang.
Bhima menjelaskan, bergabungnya Indonesia dengan BRICS bisa dikatakan berisiko terutama jika terlalu fokus pada China.
Untuk menghindari risiko ini, Indonesia perlu memainkan peran dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis.
Menurut Bhima sektor-sektor strategis seperti sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang menyasar kebutuhan negara-negara berkembang, dan mengarahkan investasi kepada proyek yang bisa memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota.
Selaras dengan hal tersebut, Bhima menyampaikan Indonesia perlu memainkan peran untuk mendorong kerja sama green investment dengan mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan.
"Jika berbicara Global South, sebetulnya urgensi utama yang tidak bisa diabaikan adalah dominasi investasi sektor ekstraktif. Jadi BRICS diharapkan juga menyoroti potensi kerja sama green investment untuk green growth dalam beberapa tahun mendatang," imbuhnya.
Senada, Direktur China-Indonesia Desk Celios Muhammad Zulfikar Rakhmat berpendapat bahwa ketidakpastian ekonomi global karena perang dagang antara China dan AS saat Trump akan mengacak stabilitas ekonomi di beberapa negara, dan ini tentunya akan berimbas pada Indonesia ditambah lagi ancaman Trump pada negara anggota BRICS jika melakukan dedolarisasi.
“Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika, US memberlakukan tarif 100 persen pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut, tidak bisa dipungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah," tuturnya.
Baca juga:
Zulfikar menyampaikan, hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS.
Selain itu, peneliti Celios Yeta Purnama menyampaikan kekhawatiran ketergantungan yang semakin kuat pada China masih menghantui Indonesia.
Menurutnya seharusnya Indonesia lebih gencar mendiverifikasi mitra secara bilateral untuk survive dari ketidakpastian ekonomi global di masa yang akan datang.
“Potensi kerja sama multilateral tentu akan menguntungkan tapi jika itu di circle yang sama, ketika ekonomi negara anggota yang mendominasi seperti China melemah maka akan rentan berdampak pada stabilitas ekonomi di dalam negeri.” tuturnya.