DPR, Aktor Pengawas Intelijen dengan Masalah Terbanyak
JAKARTA - Lemahnya kinerja intelijen Indonesia disinyalir karena kurangnya pengawasan terhadap badan intelijen. DPR sebagai lembaga pengawas dari intelijen, tercatat sebagai pemilik masalah terbanyak.
Berdasarkan hasil penelitian dari tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan ada sekitar 55 masalah pengawasan yang teridentifikasi dalam enam isu pengawasan, yaitu konflik kepentingan; kelemahan regulasi; kelemahan kapasitas aktor pengawas; kompleksitas ancaman; intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi; dan persoalan transparansi.
Berdasarkan temuan yang dirilis dalam tajuk Menguak Kabut Pengawasan Intelijen di Indonesia, DPR jadi aktor pengawas dengan masalah terbanyak dengan jumlah 14 masalah. Diikuti oleh publik 11 masalah; presiden 10 masalah; Lembaga Independen Negara 7 masalah; lembaga internasional 5 masalah; serta pengadilan negeri dan pengawas internal intelijen 4 masalah.
Kordinator tim peneliti dari LIPI, Diandra Megaputri Mengko menegaskan, perlu ada pembenahan yang serius terhadap pengawasan intelijen Indonesia. Jika tidak diawasi dikhawatirkan akan mengancam demokrasi di negara ini. "Ditinjau dari implikasinya, Indonesia menghadapi persoalan paling serius pada kontrol terhadap intelijen, akuntabilitas intelijen, serta masalah kepercayaan dan ketersediaan informasi publik,” kata Diandra dalam sebuah diskusi daring.
Diandra melanjutkan, pengawasan tidak ditujukan untuk pengawasan itu sendiri, melainkan sebagai medium untuk memastikan intelijen yang profesional dan demokratis. Maka tim membagi tiga klaster implikasi.
Baca juga:
Klaster I berimplikasi kepada efektivitas intelijen dan demokrasi; Klaster II cenderung kepada implikasi terhadap demokrasi; Klaster III berimplikasi terhadap aktivitas intelijen.
Deputi VII Bidang Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara, Wawan Purwanto mengatakan dalam setiap melaksanakan tugas dan kewenangannya BIN telah berpedoman pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku. "Dalam penyelenggaraan intelijen, berpedoman pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011. Dari sisi pengawasannya juga dilakukan secara paripurna. Maksudnya, dari pengawasan dari internal dilakukan dewan kehormatan intelijen dan dari sisi ekternal dilakukan oleh Komisi I DPR RI," katanya kepada VOI, Selasa, 10 Desember.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga menyebutkan penelitian tentang lembaga intelijen dalam Negara demokrasi sangat penting untuk dilakukan. “Penelitian harus berlanjut hingga menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan, pendalaman pada aspek pengawasan intelijen di Indonesia sangat kita butuhkan”, ucap Sandra.
Model pengawasan tidak hanya terfokus pada efektivitas intelijen saja, namun juga bisa dikembangkan untuk memastikan adanya internalisasi prinsip-prinsip HAM, anti korupsi, dan pelayanan yang baik. Intelijen diminta untuk cepat beradaptasi terhadap situasi yang berkembang, tetap tunduk kepada aturan yang berlaku dan menjaga transparan.
Pengamat Militer dan Intelijen Susaningtyas Nefo Kertopati menjelaskan intel itu ada BIN koordinator, TNI Bais, Baintelkam polri. Hal itu mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 90 Tahun 2012 tentang Badan Intelijen Negara. Terkait pembentukan Tim Pengawas Intelijen DPR, menurutnya, merupakan tindak lanjut dari undang-undang. Tepatnya, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Dalam Pasal 43 ayat (2) UU itu disebutkan, pengawasan eksternal penyelenggara Intelijen Negara dilakukan oleh komisi di DPR. Yang khusus menangani bidang intelijen, dalam hal ini adalah Komisi I DPR. "Tim pengawas Intelijen ini sudah ada sejak disahkannya UU Intelijen tahun 2011. Saya sekretaris Panja," kata Susaningtyas kepada wartawan, Kamis (5/12/2024).
"Kelemahannya karena terdiri dari anggota DPR RI maka keberadaannya jarang yang lama dalam Timwas itu. Sebagai anggota belum tentu terpilih lagi, pindah komisi atau berhalangan tetap/wafat," katanya.
Dikatakan Nuning, Timwas ini secara positif dapat memberi masukan-masukan agar kinerja intelijen lebih baik, tetapi disisi lain bisa juga kadang membuat kinerja intelijen yang umumnya memiliki kompartementasi menjadi agak ribet karena anggota timwas cenderung ingin proses intelijen itu terbuka.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai Timwas Intelijen DPR perlu memastikan kegiatan intelijen berjalan sesuai hukum yang berlaku dan tidak melanggar hak asasi manusia. Fahmi menyoroti beberapa poin agar tim pengawas DPR tak mengulang kesalahan pendahulunya dalam memelototi kinerja intelijen.
Menurutnya, pengumpulan data dan operasi intelijen perlu dipastikan berjalan secara sah untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Tim pengawas Intelijen DPR juga dapat mengawasi performa anggaran badan-badan intelijen negara, demi memastikan efektivitas dan akuntabilitas kinerja lembaga telik sandi.
“Timwas harus memastikan koordinasi yang baik antarbadan intelijen seperti BIN, BAIS, dan Baintelkam untuk mencegah duplikasi tugas dan memastikan pertukaran informasi yang efektif,” kata Fahmi
Potensi-potensi penyalahgunaan atau abuse of power intelijen inilah yang membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan membentuk Tim Pengawas Intelijen yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad. “Kita kemudian jaga bahwa kemudian tugas, fungsi pokoknya intelijen tersebut kemudian tidak abuse of power atau melanggar undang-undang itu,” kata dia.
Politisi Partai Gerindra ini menegaskan, pembentukan Tim Pengawas Intelijen DPR sudah sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara agar pengawasan dilakukan secara berlapis. “Pengawasan internal untuk setiap penyelenggara intelijen negara dilakukan oleh pimpinan masing-masing. Selanjutnya pengawasan eksternal terhadap penyelenggara intelijen negara diamanatkan kepada DPR,” tegas Dasco.
Dia menambahkan, nantinya Tim Pengawas Intelijen DPR akan bekerja jika ada pembahasan mengenai penyimpangan dalam pelaksanaan fungsi intelijen negara. Selain itu, Tim Pengawas juga menerima aspirasi atau pengaduan dari masyarakat terkait dengan penyimpangan aktivitas intelijen.