Pailitnya Sritex dan Titik Kritis Industri Tekstil Nasional
Kabar pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) cukup mengagetkan banyak pihak. Kejatuhan perusahaan tekstil besar ini bukan hanya masalah perusahaan semata, tetapi tanda krisis yang mengintai industri tekstil nasional. Sritex, yang mencatat utang hingga 21 triliun rupiah, tidak hanya terjepit karena masalah internal atau beban finansial tak terkendali, tetapi juga karena tekanan struktural yang mengimpit sektor tekstil nasional—sektor yang menjadi salah satu pilar ekspor dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Sritex, pemasok kain dan seragam untuk pasar lokal dan internasional, mempekerjakan ribuan karyawan yang kini menghadapi ketidakpastian. Presiden Direktur Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, menyatakan bahwa meski pailit, operasional perusahaan tetap berjalan. Namun, di balik janji ini, rintangan berat menghadang: utang yang menumpuk, ketatnya persaingan global, dan regulasi domestik yang merugikan produsen dalam negeri. Kombinasi ini menghantam daya saing produsen lokal seperti Sritex.
Sritex, perusahaan tekstil yang disebut terbesar di Asia Tenggara, bukan hanya penyedia lapangan kerja bagi karyawannya, tetapi juga menyokong banyak usaha kecil dan menengah dalam rantai pasok industri tekstil. Seperti dimuat di berbagai media, tercatat, ada sekitar 14.112 karyawan Sritex yang terdampak langsung, 50.000 karyawan di Grup Sritex, dan ribuan UMKM yang usahanya bergantung pada perusahaan ini. Situasi ini mendorong pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan opsi dana talangan sebagai upaya mempertahankan keberlangsungan operasional Sritex dan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Data dari BPS dan Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa volume ekspor pakaian jadi Indonesia pada tahun 2022 mencapai USD 9,58 miliar, tertinggi sejak tahun 2018. Namun, pada awal tahun 2023, ekspor mengalami penurunan signifikan hingga 22,1% (YoY), menjadi USD 2,00 miliar. Sementara itu, nilai impor pakaian jadi Indonesia pada tahun 2022 tercatat sebesar USD 127,36 miliar, dengan penurunan 13,51% pada tahun 2023 (Januari-Maret).
Menurut Iwan Setiawan Lukminto, kebijakan impor melalui Permendag Nomor 8 membuat banyak berdampak signifikan karena menganggu operasional produksi dan industri tekstil dan produk tekstil. Karena aturan itu membuka jalan bagi banjir produk tekstil dari luar negeri, terutama negara-negara Asia seperti China dan Vietnam. Produk-produk ini dijual dengan harga lebih murah dan membanjiri pasar dalam negeri, mengakibatkan produk lokal seperti Sritex kesulitan bersaing. Dalam situasi ini, produk lokal semakin terdesak di pasar sendiri.
Sementara itu, Ketua KSPI, Said Iqbal, menyebutkan bahwa mismanajemen juga menjadi penyebab kondisi Sritex yang memburuk. Namun, kesalahan ini tidak dapat dibebankan pada manajemen saja tanpa mempertimbangkan peran regulasi yang kurang mendukung. Situasi ini menunjukkan perlunya kebijakan protektif dan proaktif yang lebih kuat untuk mendukung industri dalam negeri agar lebih kompetitif, termasuk kebijakan anti-dumping dan dukungan finansial yang efektif.
Di tingkat global, persaingan di sektor tekstil semakin ketat. Negara seperti Bangladesh dan Vietnam menjadi kompetitor utama Indonesia karena mampu memproduksi tekstil dengan biaya lebih rendah. Laporan Bank Indonesia dan BPS menunjukkan bahwa ekspor tekstil Indonesia terus menurun karena produk dari negara-negara ini lebih murah dan memiliki daya saing lebih tinggi. Sritex menghadapi tantangan besar di pasar internasional yang mengutamakan efisiensi dan harga rendah, sementara biaya produksi di Indonesia cenderung tinggi.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan membuka opsi dana talangan untuk mempertahankan operasional Sritex dan mencegah gelombang PHK. Namun, dana talangan tidak cukup jika tidak diiringi perbaikan tata kelola dan kebijakan perlindungan industri lokal. Tanpa kebijakan anti-dumping dan proteksi yang kuat, industri tekstil nasional hanya akan berulang kali menghadapi ancaman yang sama.
Dukungan dalam bentuk insentif pajak, pemotongan biaya produksi, dan pengurangan biaya impor bahan baku dapat membantu sektor ini bertahan. Selain itu, efisiensi dan peningkatan inovasi harus menjadi fokus untuk memperkuat daya saing produk tekstil di pasar global.
Pailitnya Sritex adalah peringatan keras bagi ekosistem industri. Jika solusi yang tepat tidak segera diambil, sektor ini akan makin terpuruk dan kehilangan daya saingnya. Penyelesaian krisis ini harus dimaknai sebagai langkah mempertahankan industri tekstil nasional sekaligus menghindari deindustrialisasi yang lebih luas. Menyelamatkan Sritex berarti menyelamatkan industri tekstil lokal dan keberlangsungan ekonomi bagi ribuan pekerja dan UMKM yang bergantung padanya.
Keputusan kini ada di tangan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Apakah kita akan menyelamatkan dan mereformasi industri tekstil atau membiarkannya terpuruk dalam tekanan pasar global? Kebijakan yang mendukung industri tekstil Indonesia akan membuka peluang bangkit dari keterpurukan. Namun, tanpa tindakan kongkrit, cerita pailit Sritex bisa menjadi awal krisis yang lebih besar di masa depan. (iqbal irsyad)