Kasus Bunuh Diri pada Mahasiswa Makin Sering, Mengapa Anak Muda Berisiko Ingin Mengakhiri Hidup?
JAKARTA – Belakangan ini berita kasus bunuh diri mahasiswa di berbagai daerah menjadi perbincangan. Paling baru, seorang mahasiswa di Jakarta ditemukan meninggal di pelataran gedung kampus pada 4 Oktober lalu.
Kasus bunuh diri yang dialami mahasiswa terus berulang. Kepedulian perguruan tinggi untuk mencegah bunuh diri mahasiswa masih dianggap lemah. Selain itu, dukungan keluarga dan orang terdekat juga dibutuhkan.
Setidaknya ada tiga kasus bunuh diri mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia yang menjadi perbincangan belakangan ini. Di Surabaya, seorang mahasiswa ditemukan meninggal di pelataran gedung Universitas Kristen Petra, Selasa (1/10/2024). Ia diduga bunuh diri dengan melompat dari gedung.
Tak lama kemudian, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Semarang ditemukan meninggal di kosnya akibat bunuh diri pada Kamis (3/10). Terkini, seorang mahasiswi Universitas Tarumanegara berinisial E (18) juga diduga bunuh diri dengan melompat dari lantai enam kampus. Mahasiswi tersebut ditemukan tewas di pelataran gedung kampus di Grogol, Petamburan, Jakarta Barat.
Dari ketiga kasus di atas, motifnya berbeda-beda. Mulai dari dugaan percintaan, hingga gangguan psikologi depresi.
Remaja Rentan Depresi
Belum lama ini publik juga dikejutkan dengan meninggalnya AUL, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Ia memilih mengakhiri hidupnya dengan menyuntikkan obat ke tubuh sendiri karena beban kerja yang berat dan dugaan perundungan dari seniornya.
Pada Oktober tahun lalu, dua kasus bunuh diri mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta dan Semarang terkuak di media. Kasus serupa juga ditemukan di sejumlah daerah dan dinilai merupakan fenomena gunung es mengingat kasus yang tidak dilaporkan dipercaya banyak jumlahnya.
Fenomena bunuh diri di usia muda menjadi masalah global, termasuk Indonesia. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 24 Agustus 2024, bunuh diri terbanyak terjadi pada penduduk berusia 15-29 tahun, dengan mayoritas masih sekolah atau kuliah.
Pada 2022, Indonesia-National Adolescent Health Survey mencatat 5,5 persen atau 2,54 juta remaja didiagnosis mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sebagian kecil (4,4 persen) dari remaja melaporkan pernah menyakiti diri sendiri secara sengaja.
Sementara data Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 menunjukkan, prevalensi depresi tertinggi ditemukan pada kelompok usia 15-24 tahun. Di antara anak muda dengan depresi, sebanyak 61 persen di antaranya memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup.
Studi pada 4.675 mahasiswa di enam negara di ASEAN, termasuk Indonesia, yang dipublikasikan di Asian Journal of Psychiatry pada April 2017, menemukan prevalensi mahasiswa yang memiliki ide dan upaya bunuh diri masing-masing 11,7 persen dan 2,4 persen.
Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengatakan, masa remaja merupakan masa di mana terjadi banyak perubahan dalam diri individu, mulai dari perubahan secara fisik maupun psikis. Besarnya perubahan ini membuat remaja menjadi populasi yang rentan mengalami masalah kesehatan mental. Kasandra menjelaskan beberapa hal yang dapat menjadi faktor risiko gangguan mental pada remaja, seperti kondisi keluarga, hubungan pertemanan, stres akademik, hingga adanya kejadian traumatis.
“Misalnya pola pengasuhan yang keras atau hubungan anak dan orang tua yang kurang baik, kurangnya dukungan dari keluarga, perceraian orang tua, komunikasi keluarga yang kurang baik, hingga kehilangan anggota keluarga,” kata Kasandra kepada VOI.
Alasan Mengakhiri Hidup
Menurut Hurlock (2014) masa remaja adalah masa yang sangat berat dan rentan akan depresi karena masa ini adalah fase penuh perubahan, baik anatomis, fisik, emosional, intelegensi serta hubungan sosial.
Terlebih lagi bagi kebanyakan orang, menjadi mahasiswa adalah periode pertama dalam hidup mereka yang mereka harus jauh dari orang-orang dan lingkungan yang familiar bagi mereka sehingga perubahan tersebut lebih terasa yang membuat hidup terasa lebih berat.
Sedangkan Wurinda (2015) menyatakan ada beberapa masalah yang dihadapi oleh mahasiswa yang dapat mengakibatkan stres tinggi hingga berpikir untuk bunuh diri, di antaranya keuangan, masalah dengan dosen, hubungan akademis, permasalahan dengan teman, masalah percintaan, dan gangguan kesehatan.
Edward Andriyanto Soetardhio, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengakui perubahan kurikulum di perkuliahan juga membuat tekanan baru bagi mahasiswa. Keterampilan hidup dan pengaturan emosi yang tidak masuk dalam kurikulum sejak dini membuat anak-anak muda sekarang ini memiliki risiko mengakhiri hidup.
Padahal, pengaturan emosi berkaitan dengan kemampuan seseorang mengelola dan menanggapi pengalaman emosional secara efektif.
Baca juga:
- Konflik Global, Perubahan Iklim, dan Food Estate Salah Urus: Indonesia Hadapi Ancaman Krisis Pangan
- Menaikkan Gaji Hakim untuk Cegah Korupsi Disebut Terlalu Menyederhanakan Masalah
- Fenomena Kohabitasi Meningkat di Indonesia, karena Pernikahan Dianggap Rumit
- Tunjangan Perumahan untuk Anggota DPR Tak Masuk Akal dan Melukai Hati Rakyat
Menurut Edward, life skills (keterampilan hidup) seperti problem solving (penyelesaian masalah), critical thinking (berpikir kritis), emotional regulation (pengaturan emosi) malah tidak diajarkan dalam kurikulum di Indonesia.
Meningkatnya pengaruh teknologi, terutama gawai, juga ikut andil dalam fenomena ini. Kurangnya dukungan sosial, karena sekarang ini mahasiswa cenderung individualis, membuat anak-anak muda memiliki risiko mengakhiri hidup lebih besar dibanding sebelumnya.
“Karena semua sibuk dengan handphone-nya masing-masing, dengan gawainya masing-masing. Jadi tidak ada social support yang cukup baik antar mereka,” kata Edward.
Kasandra Putranto mengatakan hal serupa. Selain tingkat depresi yang tinggi serta kecerdasan emosi yang rendah, minimnya dukungan sosial juga membuat kasus bunuh diri dan depresi di kalangan mahasiswa marak terjadi belakangan ini.
“Umur mahasiswa memang berisiko untuk memiliki depresi ditambah dengan stres tinggi dan kurangnya dukungan lingkungan karena hidup di lingkungan yang baru dapat menjadi alasan mengapa mahasiswa banyak yang akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup mereka,” tuturnya.
Mencegah Bunuh Diri pada Mahasiswa
Menurut American Psychological Association, generasi Z paling sadar akan kesehatan mental. Namun, kesadaran yang tinggi ini belum disertai dengan kesadaran untuk mencari pertolongan yang tepat, bahkan banyak anak muda justru melakukan swadiagnosis.
Ini seturut dengan Alvara Research Center yang melakukan survei terhadap 1.520 responden di 34 provinsi Indonesia pada 2022. Salah satu hasilnya menunjukkan gen Z memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan gen milenial dan X.
Karena itulah, perluasan akses layanan kesehatan mental sudah saatnya menjadi hal mutlak untuk mengatasi fenomena bunuh diri pada usia muda.
Namun, menurut Kasandra Putranto, stigma sosial terkait dengan masalah kesehatan mental seringkali membuat orang enggan mencari bantuan atau berbicara terbuka tentang masalah mereka. Stigma ini dapat membuat seseorang merasa malu, lemah, atau merasa ada sesuatu yang salah dengan diri mereka jika mereka mengakui memiliki masalah kesehatan mental. Akibatnya, orang mungkin enggan mencari perawatan.
“Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk terus meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, mengurangi stigma, dan memberikan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan mental yang berkualitas,” Kasandra menjelaskan.
Di samping itu, institusi pendidikan juga perlu menyediakan layanan konseling di kampus yang dilengkap konselor dan psikolog terlatih untuk membantu mahasiswa yang mengalami stres atau depresi. Hal ini dibarengi dengan implementasi program dukungan teman sebaya.
“Tunjukkan bahwa Anda peduli dengannya. Tanyakan kondisi individu tersebut, mendengarkan ceritanya secara aktif. Tunjukkan bahwa Anda fokus mendengarkan cerita individu tersebut dan tidak menghakiminya, tidak memotong pembicaraan, dan berusaha memahami sudut pandang individu tersebut,” kata Kasandra memungkasi.
Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi psikolog, psikiater atau dokter kesehatan jiwa di Puskesmas atau rumah sakit terdekat. Meminta pertolongan mereka bukan berarti Anda lemah.