Publik Menunggu Keberanian KPK Usut Dugaan Gratifikasi Kaesang Pangarep Terkait Penggunaan Jet Pribadi
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai lambat bergerak mengusut dugaan gratifikasi terkait penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengingatkan, banyak kasus korupsi yang tidak melibatkan unsur pejabat publik atau penyelenggara negara.
Kaesang Pangarep dan istrinya, Erina Gudono, jadi buah bibir sejak medio Agustus lalu, karena dianggap memamerkan gaya hidup mewah selama perjalanan ke Amerika Serikat (AS). Hal ini diketahui lewat Instastory yang diunggah Erina.
Dari unggahan tersebut, warganet kasak-kusuk mencari tahu berbagai informasi seputar perjalanan Kaesang dan Erina. Dari sanalah diketahui mereka menggunakan jet pribadi jenis Gulfstream G650ER. Tak hanya itu, Erina juga mengunggah di medsos soal roti seharga Rp400 ribu dan stroller atau kereta bayi dengan harga yang diduga mencapai puluhan juta rupiah.
Di saat bersamaan, hampir semua elemen masyarakat tengah berdemonstrasi menolak rencana DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Pilkada yang dinilai hanya akan menguntungkan golongan tertentu, termasuk keluarga Jokowi.
Setelah sempat ‘sembunyi’ di tengah cacian warganet, Kaesang akhirnya muncul. Ia menyambangi Gedung KPK, Selasa (17/9/2024), dengan didampingi kuasa hukum dan juru bicaranya, sekaligus menyatakan bahwa kedatangannya merupakan inisiatif pribadi sebagai warga negara yang patuh hukum, bukan karena panggilan resmi.
“Meskipun sebenarnya saya tidak ada kewajiban,” ucap putra bungsu Jokowi itu di Gedung KPK.
Soal Relasi Kekuasaan
Kaesang Pangarep, yang juga Ketua Umum PSI, menjelaskan perjalanannya ke AS menggunakan pesawat jet pribadi hanya nebeng teman. Tapi sejauh ini detail siapa teman yang dimaksud tidak dijelaskan Kaesang.
“Numpang ke teman, kalau bahasa bekennya nebeng," kata Kaesang singkat.
Polemik penggunaan jet pribadi oleh Kaesang dan Erina masih menjadi pembicaraan banyak orang. Muncul kecurigaan jet pribadi itu digunakan sebagai bentuk gratifikasi.
Menurut penelurusan warganet, jet pribadi itu milik terkait dengan perusahaan yang pernah menjalin kerja sama dengan Gibran Rakabuming Raka ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Gibran tidak lain kakak pertama Kaesang.
Seusai kunjungan Kaesang, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mendesak KPK memeriksa dugaan penerimaan gratifikasi Kaesang. Kurnia mengatakan, komisi antirasuah itu perlu mendalami keterangan Kaesang meski ia mengaku bukan pejabat publik atau penyelenggara negara.
“Karena kasus ini menarik perhatian publik terkait dugaan gratifikasi. Maka dari itu keterangan yang sudah disampaikan oleh Kaesang, harus digali lebih lanjut, untuk kemudian digelar apakah memang gratifikasi itu terkait dengan jabatan keluarga Kaesang," kata Kurnia.
Perihal boleh tidaknya Kaesang diperiksa KPK masih menjadi polemik karena yang bersangkutan mengaku bukan pejabat publik atau penyelenggara negara. Tapi, Kurnia menegaskan KPK tetap perlu mendalami keterangan Kaesang karena ia memiliki kekerabatan dengan pejabat publik maupun penyelenggara negara.
Diketahui, selain ayahnya presiden, Kaesang juga berstatus adik dari wakil presiden terpilih sekaligus mantan Wali Kota Solo, Gibran. Selain itu, kakak iparnya, Bobby Nasution, merupakan Wali Kota Medan. Sehingga menurut Kurnia, kerangka dugaan gratifikasi itu bukan pada subjek Kaesang secara individu.
Baca juga:
- Produk dan Model Bisnis Ketinggalan Zaman Bikin Pesta Tupperware Berakhir
- Pro Kontra Penerapan Restorative Justice, Bagaimana Memberi Efek Jera pada Anak yang Berkonflik dengan Hukum?
- Dualisme Kepemimpinan Kadin Indonesia: Ancaman terhadap Pembangunan dan Dugaan Cawe-cawe Politik
- Didominasi Calon Kelas Menengah, Mampukah Indonesia 2045 Menjadi Negara Maju?
"Karena kalau Kaesang secara individu, satu, dia adalah pengusaha. Dua, dia adalah ketua umum partai, tidak ada aspek penyelenggara negara di sana. Tapi, relasi keluarga itu yang membuat penting bagi KPK mendalami dugaan gratifikasi tersebut," Kurnia menjelaskan.
Lebih lanjut, Kurnia mengingatkan bahwa banyak kasus korupsi yang justru tidak melibatkan unsur pejabat publik atau penyelenggara negara.
"Ada banyak sekali kasus korupsi dengan delik gratifikasi, tidak diterima langsung oleh penyelenggara negara, tapi ada layer-layer tertentu yang menerima hal tersebut. Maka dari itu kami mendorong agar KPK dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut, karena ranahnya kan sekarang sudah berpindah ke pengaduan masyarakat. Jadi itu harapan kita kepada KPK," jelasnya.
Pintu Masuk Usut Keluarga Jokowi
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha juga menegaskan gratifikasi, suap, atau pun jenis korupsi yang lain tidak hanya melibatkan si pelaku saja, pejabat publik atau penyelenggara negaranya saja, tapi juga sering melibatkan orang-orang terdekat, seperti rekan bisnis, keluarga, atau yang lain.
“Jadi, dalam hal ini kita tetap harus melihat bahwa dugaan gratifikasi ini juga bisa disampaikan melalui Kaesang, kalau memang itu benar-benar bisa dibuktikan,” katanya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengaku Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memang tidak mengatur pemberian terhadap keluarga pejabat negara. Kendati demikian, penegak hukum menurutnya bisa memakai yurisprudensi, yaitu putusan hakim dalam kasus-kasus sebelumnya yang dapat digunakan sebagai sumber hukum untuk memutus perkara serupa di kemudian hari.
Zaenur menyayangkan KPK yang tidak bersikap tegas. Menurutnya, dugaan gratifikasi Kaesang ini seharusnya menjadi pintu masuk untuk mengusut keluarga Jokowi. Selain Kaesang Pangarep, Boby Nasution juga dilaporkan ke KPK usai foto dirinya dan keluarga naik jet privadi viral di media sosial.
“Apakah dari Kaesang ini bisa digunakan untuk mengusut keluarga Jokowi? Betul, seharusnya bisa,” tutur Zaenur.
Menurut Zaenur, saat ini yang menjadi persoalan adalah memang tidak ada keberanian dari komisi antirasuah untuk melakukan penelusuran apa yang ramai dibicarakan publik.
“Jadi ini persoalannya saya rasa memang tidak ada keberanian dan KPK-nya sudah lemah untuk mampu melakukan itu,” pungkasnya.