Perang Dua Dinasti di Pilgub Banten dan Jalan Mulus Kuasai Wilayah Aglomerasi

JAKARTA – Drama penetapan bakal calon kepala daerah di Pilkada 2024 bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga mewarnai penetapan bakal cakada di Banten. Drama yang akhirnya melahirkan “perang” antara dua dinasti dalam Pilgub Banten 2024.

Dua dinasti yang akan memperebutkan tahta Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tak lain adalah Dinasti Natakusumah dan Dinasti Chasan Sochib. Ya, setelah hampir dua dekade menguasai Kabupaten Pandeglang, Dinasti Natakusumah melalui Achmad Dimyati Natakusumah kali ini mencoba peruntungan di tingkat yang lebih tinggi, yakni Provinsi Banten.

Bagi masyarakat Kabupaten Pandeglang, Dinasti Natakusumah sudah tidak asing lagi. Dimyati telah memimpin Kabupaten Pandeglang selama dua periode sejak tahun 2000 hingga 2009. Setelah Dimyati, kepemimpinan di Pandeglang dilanjutkan oleh istrinya, Irna Narulita, yang menjadi Bupati Pandeglang selama dua periode sejak 2015 hingga 2025. Kini, di Pilbup Pandeglang 2024, Dinasti Natakusumah diwakili adik Dimyati, yakni Raden Dewi Setiani.

Kembali ke Pilgub Banten, Dimyati, yang dipasangkan dengan Andra Soni akan bertarung melawan wakil Dinasti Chasan Sochib, Airin Rachmi Diany. Tentu bukan kontestasi yang mudah bagi Dimyati, mengingat Dinasti Chasan Sochib dikenal sudah mengakar, tak hanya di level provinsi tapi juga di berbagai kota dan kabupaten di Banten.

Belum lagi jika membicarakan soal popularitas dan elektabilitas. Pada Bulan Juni lalu, Litbang Kompas menggelar survei dengan melibatkan 400 responden terkait Pilgub Banten. Hasil survei dengan margin of error 4,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan Airin memiliki tingkat elektabilitas 38,3 persen, sedangkan Achmad Dimyati Natakusumah hanya 2,7 persen.

Sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang melakukan survei pada 27 Juli hingga 4 Agustus dengan melibatkan 800 responden juga menunjukkan Airin masih digdaya di Pilgub Banten. Hasil survei dengan margin of error 3,5 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen ini mengungkapkan elektabilitas Airin mencapai 77,3 persen dibandingkan Andra Soni yang hanya 10 persen. Sedangkan bila simulasi berpasangan, duet Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi mampu meraih elektabilitas hingga 73,7 persen, dan pasangan Andra-Dimyati ada di kisaran 12,2 persen.

Airin Rachmy Diany/FOTO: Wardhany Tsa Tsia-VOI
 

Sayangnya, meski hasil berbagai lembaga survei menunjukkan Airin sebagai kandidat terkuat, langkah adik ipar Ratu Atut Chosiyah itu tidaklah mulus. Bahkan, status sebagai Ketua TKD Prabowo-Gibran di Banten pada Pilpres 2024 tidak membuatnya serta merta diusung sebagai bakal cakada. Partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) termasuk Partai Golkar, yang berganti baju menjadi Koalisi Banten Maju, lebih memilih pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah.

Lika Liku Airin Maju di Pilgub Banten 2024

Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang meringankan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah mengubah konstelasi politik di Pilgub Banten. PDI Perjuangan yang mendapatkan “berkah” dari Putusan MK itu, langsung mendeklarasikan sekaligus mengusung Airin sebagai bakal cagub berpasangan dengan Ade Sumardi pada Senin, 26 Agustus 2024.

Selang sehari usai PDI Perjuangan resmi mengusung Airin, Partai Golkar pun berbalik arah. Selasa, 27 Agustus 2024 bertepatan dengan dibukanya pendaftaran bakal cagub dan cawagub Pilkada 2024, Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia bak menjilat ludah sendiri. Politisi yang menggantikan posisi Airlangga Hartarto itu membatalkan dukungan yang sebelumnya diberikan pada Andra Soni-Dimyati Natakusumah, berganti mengusung Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi di Pilgub Banten 2024.

“Untuk Provinsi Banten, yang pasti temen-temen tunggu yang dari kemarin, memang ini prosesnya panjang. Memang barang bagus itu pasti itu memang banyak yang minat,” ujarnya saat itu.

Bahlil menegaskan bahwa kurang pas jika Partai Golkar tidak mengantarkan Airin berlaga di Pilgub Banten. Sebab, Partai Golkar merupakan rumah bagi Airin, dan mantan Wali Kota Tangerang Selatan tersebut diibaratkan sebagai anak kandung partai beringin. “Partai Golkar menyerahkan B1-KWK kepada pasangan calon gubernur Provinsi Banten, yaitu Ibu Airin dari Partai Golkar dan pasangannya wakil gubernur, yaitu Pak Ade Sumardi,” tukas Bahlil.

Terlepas alasan yang dikemukakan Bahlil Lahadalia di depan publik, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno punya penilaian tersendiri terkait balik badannya Partai Golkar. Menurutnya, keputusan itu membuktikan jika Airin mampu membuat Partai Golkar tersudut. Apalagi, Airin sudah digoda untuk bergabung ke PDI Perjuangan yang telah lebih dulu memberinya rekomendasi maju Pilkada Banten.

“Kasus Airin ini sebenarnya membuktikan betapa Partai Golkar itu enggan kehilangan kader terbaik mereka. Apa pun itu Banten merupakan kandang dan yang menjadi lokomotif Partai Golkar di Banten adalah keluarga besarnya Airin. Jadi, kalau dia pindah, tentu kerugian besar bagi Partai Golkar,” terangnya, Senin 2 September 2024.

“Sangat berisiko bagi Partai Golkar kalau tidak mengusung Airin. Karena basis-basis Partai Golkar di Banten bisa gembos dan mengikuti ke mana arah dukungan politik Airin,” tambah Adi Prayitno.

Banten Salah Satu Kunci Kawasan Aglomerasi

Mencegah kepindahan Airin Rachmi Diany ke PDI Perjuangan seperti penilaian Adi Prayitno-di tengah mencuatnya dugaan keretakan hubungan Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo-bisa jadi salah satu strategi Partai Golkar maupun KIM. Terlebih, Banten merupakan salah satu provinsi yang wilayahnya menjadi daerah aglomerasi Jakarta seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ).

Pasal 51 ayat (2) UU DKJ menyebutkan bahwa Kawasan Aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

Artinya, tiga wilayah Banten yakni Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan termasuk dalam kawasan aglomerasi. Sementara dalam Pasal 55 UU DKJ disebutkan bahwa kawasan aglomerasi akan berada di bawah kendali atau koordinasi dewan aglomerasi yang ditunjuk oleh presiden, terdiri dari ketua dan anggota.

Penunjukkan Ketua Dewan Aglomerasi oleh presiden ini berbeda dengan saat pembahasan RUU DKJ. Dalam pasal 55 RUU DKJ, Dewan Aglomerasi akan dipimpin oleh wakil presiden, dalam hal ini Gibran Rakabuming Raka. Meski berubah, Inilah yang menjadi alasan Jakarta, Jawa Barat dan Banten tidak boleh lepas dari KIM. Apalagi, masih terbuka kemungkinan presiden akan memilih Gibran sebagai Ketua Dewan Aglomerasi seperti diatur dalam RUU DKJ sebelum diubah saat disahkan menjadi UU DKJ.

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro menilai bahwa pembentukan KIM Plus pada Pilkada 2024 dianggap sebagai upaya memuluskan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjalankan program-programnya, terutama di provinsi yang menjadi sorotan seperti Jakarta, Jawa Barat dan termasuk Banten. “Konteks KIM Plus terwujud tidak lain demi memudahkan Prabowo-Gibran memimpin sehingga mindset keberlanjutan bisa juga berjalan di level daerah,” imbuhnya.

Pakar otonomi daerah, Djohermansyah Djohan mewanti-wanti soal pemilihan Ketua Dewan Kawasan Aglomerasi. Menurutnya, bila presiden kembali kepada pemikiran awal seperti tertuang dalam RUU DKJ, dimana wakil presiden akan memimpin Dewan Aglomerasi, maka kekuasaan wakil presiden akan terlalu besar dan berpotensi berlangsung dalam jangka panjang.

“Sebanyak 17 persen kue ekonomi nasional ada di Jakarta. Jadi, kalau Gibran yang memimpin, dia bisa pegang perekonomian nasional. Bayangkan ekonomi dan politik ada di satu tangan. Dia bisa menguasai hajat hidup orang banyak, jangan-jangan sampai tujuh turunan. Itu bahayanya. Sangat riskan untuk pemerintahan demokratis,” ungkapnya.

Pakar tata kota, Nirwono Joga menyatakan, penunjukkan Ketua Dewan Kawasan Aglomerasi seperti buah simalakama. Bila Gibran yang dipilih, maka anggapan melanggengkan kekuasaan Jokowi semakin nyata. Sementara bila figur lain, maka akan muncul kekhawatiran sosok tersebut akan mendapatkan sorotan nasional.

“Tentu muatan politis tetap kental. Faktanya, siapa pun yang mengelola Jakarta terlebih dengan adanya kawasan aglomerasi dengan baik, akan mendapatkan bekal politik untuk mencalonkan diri ke pilpres berikutnya, seperti Jokowi dan Anies,” tuturnya.

“Meski ibu kota pindah, Jakarta akan tetap menjadi roh Indonesia sampai 2045. Di IKN, mau ngapain saja, belum akan berdampak langsung. Tapi di Jakarta saat ini, kegiatan sekecil apa pun bisa langsung jadi sorotan,” tambah Nirwono Joga.