Bamsoet Apresiasi Hilirisasi Industri Hasilkan Nilai Tambah pada Investasi

JAKARTA - Pemerintah terus mendorong hilirisasi Industri mendapat apresiasi dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI, DPD RI Tahun 2024.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyampaikan, strategi hilirisasi industri yang didorong pemerintah sudah memberikan hasil positif berupa nilai investasi pada industri pengolahan mineral yang meningkat pesat.

“Nilai ekspor nikel juga tumbuh sangat tinggi, yang membuat Indonesia menjadi negara penghasil nikel terbesar nomor satu di dunia,” tutur Bambang pada Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD RI yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus.

Untuk diketahui, hilirisasi nikel sudah berlangsung kurang lebih selama tujuh tahun dan saat ini ekspor sudah sampai menyentuh angka 34 miliar dolar AS.

Sebelumny, Pemerintah secara resmi meluncurkan Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara antara Kementerian dan Lembaga (Simbara) pada hari ini, Senin, 22 Juli.

Dalam sambutannya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia berpotensi mendapatkan royalti sebesar Rp5 hingga Rp10 triliun dari masuknya nikel dan timah ke dalam sistem ini.

“Hanya dari royalti, kita bisa dapat Rp5–10 triliun. Hanya royalti, tidak bicara pajak,” ujar Luhut dalam sambutannya pada "Launching dan Sosialisasi Implementasi Komoditas Nikel dan Timah melalui Simbara", Senin 22 Juli.

Luhut meyakini dengan masuknya komoditas lain ke dalam sistem ini Indonesia bisa menjadi negara yang hebat. Pasalnya, para pengusaha dapat lebih tertib dalam berbisnis di sektor mineral serta dapat mencegah kebocoran penerimaan negara dari modus penambangan ilegal dan penghindaran pembayaran penerimaan negara.

"Kalau dia tidak comply, oleh Bea Cukai, dia tidak bisa ekspor. Siapa pun dia, mau pakai baju kuning, merah, hitam, tidak bisa. Mau tentara polisi backingan dia tidak bisa. Sistem ini akan mendisiplinkan bangsa ini,” sambung Luhut.

Luhut mengakui jika masuknya nikel dan timah ke dalam sistem ini cukup terlambat. Percepatan ini baru terjadi setelah mencuatnya perkara dugaan korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015–2022 yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.

“Kejadian yang di korupsi yang di timah itu, dorong kami mempercepat proses ini,” pungkas Luhut.