IESR: Penggunaan Hidrogen pada PLTU Jawa 9-10 di Banten Layak Ditiru Pembangkit Lain
JAKARTA - Senior Analis Institute for Essential Services Reform (IESR) Farid Wijaya mengatakan PLTU Jawa 9-10 di kawasan Suralaya, Banten, yang menggunakan hidrogen dan amonia hijau dalam proses produksinya, dapat ditiru PLTU lain.
"Tentunya, bisa jika sudah berhasil di PLTU tertentu dan dengan mempertimbangkan aspek keteknisan yang sesuai, adopsi hidrogen dan amoniak bisa dilakukan di PLTU lainnya," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip dari Antara, Sabtu 27 Juli.
Di sisi lain, Farid tetap menekankan pentingnya penyiapan media penyimpanan hidrogen yang aman, dapat diandalkan, dan murah secara operasional.
PLTU Jawa 9-10 menjadi pembangkit listrik pertama di Indonesia yang akan menggunakan amonia dan hidrogen hijau, mendampingi batu bara.
Langkah itu selaras dengan peta jalan transisi energi untuk mencapai net zero emission (NZE) tahun 2060, yang terfokus pada pengembangan energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan.
Farid juga menuturkan hidrogen dan amonia memiliki peran penting dan diproyeksikan akan mengganti peran penting dari bahan bakar fosil sebagai komoditas energi maupun komoditas kimia bahan baku industri.
Peranan hidrogen, lanjutnya, sangat besar. Belakangan ini, banyak negara berlomba-lomba menempatkan posisinya sebagai teknologi hub, produsen maupun konsumen, kata dia.
"Hidrogen yang menjadi proyeksi masa depan itu adalah hidrogen rendah jejak emisi karbon, khususnya hidrogen hijau yang berasal dari elektrolisis air dan listrik energi terbarukan," ucapnya.
Akan tetapi, terkait menguntungkan atau tidaknya, Farid mengatakan perlu kajian yang lebih jauh.
"Namun, selama proses dilakukan dengan pendekatan yang baik dan benar, maka keuntungan negara bisa dimaksimalkan dengan turut meminimalkan potensi kerugian yang mungkin terjadi," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pada periode inisiasi saat ini, hidrogen dan amonia hijau sedang diuji coba untuk campuran bahan bakar atau co-firing PLTU.
"Hasil awal dari uji coba menunjukkan bahwa co-firing amonia dapat mengurangi emisi CO2 secara signifikan tanpa mengorbankan efisiensi operasional pembangkit," katanya.
Baca juga:
Meski demikian, hasil itu bervariasi tergantung pada proporsi amonia yang digunakan dan karakteristik teknis PLTU.
Menurutnya, tantangan teknis yang dihadapi meliputi penanganan korosi dan pengendalian emisi NOx (nitrogen oksida) yang dapat meningkat karena pembakaran amonia.
Selain itu, sedang dilakukan penelitian dan studi terkait pengaruh besaran campuran amonia terhadap biaya pokok pembangkitan tenaga listrik.
"Ke depannya, jika keekonomian sudah tercapai, maka sesuai roadmap NZE dan RUKN, hidrogen dan amonia bisa diterapkan pada PLTU lainnya," ucapnya.