Hikmah di Balik Pandemi COVID-19
JAKARTA - Pandemi COVID-19 atau virus corona menjangkit ratusan ribu warga di seluruh dunia hingga menyebabkan belasan ribu orang tewas. Akibatnya, aktivitas manusia lumpuh di banyak negara. Namun, hampir selalu ada hikmah di balik musibah. Apa itu?
Wabah virus corona mendesak negara-negara di dunia mengambil kebijakan mengunci (lockdown) daerah mereka. Memang, akibat wabah itu 275.434 terjangkit, 11.399 orang dikabarkan tewas dan 88.256 sembuh. Aktivitas warga pun lumpuh di dua negara yang saat ini paling terdampak pandemi: China dan Italia.
Dari kejadian itu, apabila kita cermati, hampir selalu ada hikmah di belakangnya. Ya, pandemi setidaknya menurunkan tingkat polusi dan emisi gas rumah kaca.
Peneliti Jaringan CoolClimate - konsorsium peneliti iklim - University of California, Berkeley, Christopher Jones bilang; "Jika kita dapat memikirkan tentang bagaimana cara mempersiapkan menghadapi perubahan iklim seperti pandemi, mungkin akan ada hasil positif untuk semua ini," katanya, kutip NBC News.
Di Italia, epidemi virus corona yang telah menjangkit 47.021 orang telah mengakibatkan 4.032 kematian. Angka kematian Italia yang kini menjadi lebih banyak dari negara asal virus, China, mendesak pemerintah mereka untuk mengunci negara tersebut. Oleh karena itu Italia terutama China telah dipaksa menutup perbatasan mereka dan membatasi pergerakan penduduk untuk mengendalikan tingkat infeksi.
Baca juga:
Di Wuhan, China, wilayah yang menjadi pusat mewabahnya virus sudah lebih dulu melakukan kebijakan mengunci wilayah. 11 juta orang di sana dikarantina. Penutupan meluas ke beberapa Kota, hingga 60 juta orang di Hubei terkunci.
Operasi industri di tempat asal virus terhenti, penutupan moda transportasi seperti lalu lintas udara, kereta api, dan jalanan dihentikan sementara di beberapa wilayah.
Tingkat emisi berbahaya menurun
Peneliti di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih Finlandia, Myllyvirta, mengatakan lockdown China berkontribusi terhadap penurunan 25 persen emisi karbon selama empat pekan yang dimulai pada akhir Januari, dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu. Myllyvirta mengungkapkan operasi industri berkurang 15 persen hingga 40 persen di beberapa sektor dan konsumsi batubara di pembangkit listrik turun 36 persen.
Berdasarkan alat pemantau polusi Badan Antariksa Amerika NASA dan Badan Antariksa Eropa terlihat ada penurunan polusi udara drastis di China selama dua pekan pada bulan Februari ketika lockdown berlaku. Pantauan satelit itu mengukur konsentrasi nitrogen dioksida yang dilepaskan kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan industri dari 1 Januari sampai 20 Januari dan dari 10 Februari sampai 25 Februari.
Hasilnya sungguh dramatis. Awan yang mengandung nitrogen dioksida di China terlihat bersih pada Februari. Ilmuwan NASA mengatakan bahwa pengurangan emisi serupa juga telah diamati di negara-negara lain.
"Ini pertama kalinya saya melihat penurunan drastis pada area seluas itu," kata seorang peneliti kualitas udara NASA, Fei Liu masih dikutip NBC News.
Menyelamatkan ribuan nyawa
Menurunnya polusi lingkungan, bahkan menurut Profesor Sistem Bumi Amerika Serikat, Marshall Burke, bisa menyelamatkan ribuan nyawa. Dengan menggunakan data sensor udara di empat kota di China ia mengukur kadar PM2.5 - partikel kecil yang dianggap sebagai penyebab utama kematian akibat polusi udara.
"Kemungkinan menyelamatkan nyawa 4 ribu anak di bawah usia 5 tahun dan 73 ribu orang dewasa di atas 70 tahun di China," kata Burke dikutip Forbes.
Perhitungan Burke adalah prediksi dampak kematian, yang masih bisa berubah sewaktu-waktu. "Tetapi perhitungan itu mungkin merupakan pengingat yang berguna tentang akibat kesehatan yang sering disembunyikan dari status quo," kata Burke.
Efek paling dramatis dari pengurangan tingkat polusi tersebut terjadi di kota-kota China bagian selatan seperti Shanghai dan Wuhan.