Mendorong Segala Pembenahan dalam Isu Gelar Pahlawan Nasional
Indonesia adalah negeri yang kaya pahlawan. Berbanggalah kita akan itu. Namun, soal penganugerahan gelar pahlawan nasional, bangsa ini nampaknya perlu banyak berbenah. Sisi kelam tokoh-tokoh penerima gelar, kelemahan sistem, hingga kentalnya politisasi dalam penerimaan gelar jadi catatan yang harus disoroti. Ini adalah artikel pamungkas dari Tulisan Seri khas VOI tentang "Menjadi Pahlawan Nasional".
Indonesia memiliki mekanisme tentang pemberian gelar pahlawan nasional. Mekanisme itu diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Kaidah itu mengatur mekanisme pengajuan gelar pahlawan nasional, termasuk berbagai syarat yang wajib dipenuhi sebuah nama untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
"Dalam Pasal 25 dan Pasal 26, ada dua (klasifikasi) syarat, yaitu syarat umum dan khusus," tutur Dirjen Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial (K2RS) Kementerian Sosial (Kemensos) Bambang Sugeng saat kami hubungi, Selasa 19 November.
Merujuk UU 20/2009, yang terklasifikasi sebagai syarat umum di antaranya adalah calon pahlawan merupakan warga negara Indonesia atau orang yang berjuang di wilayah yang kini menjadi wilayah NKRI. Nama itu juga harus memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, serta setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara. Syarat lainnya, nama tersebut tak boleh terlibat dalam pidana dengan ancaman hukuman paling singkat lima tahun.
Sedang syarat khusus, UU mengamanatkan sejumlah syarat, yakni:
1. Pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa;
2. Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan;
3. Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya;
4. Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara;
5. Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa;
6. memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi;
7. Dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Berdasar UU 20/2009, mekanisme pengajuan gelar pahlawan nasional dapat diinisiasi oleh seseorang, kelompok, atau pun lembaga. Namun, ada barisan mekanisme yang harus dijalani. Pertama adalah mengajukan nama tokoh kepada pemerintah daerah. Pengajuan itu harus disertai dengan hasil kajian dan gelar uji publik yang melibatkan sejarawan, akademisi, hingga masyarakat berpengetahuan.
Hasil kajian dan gelar uji publik itu wajib dituangkan menjadi jurnal. Nantinya, jurnal itu yang akan diserahkan kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) untuk dipelajari. Jika lolos kajian TP2GD, barulah jurnal itu dapat diserahkan ke pemerintah daerah. Selanjutnya, pemerintah daerah lah yang akan membawa pengajuan itu ke Kemensos.
"Harus dikaji dulu oleh mereka. Setelah dikaji TP2GD dan berkas semuanya, termasuk foto, dokumen perjuangan itu diverifikasi oleh TP2GD, baru diusulkan ke pusat oleh gubernur pada Kemensos," kata Bambang.
Politisasi
Meski telah memiliki mekanisme berpayung hukum, penetapan gelar pahlawan nasional di Indonesia kerap diliputi kepentingan politis. Di ujung mekanisme, keputusan penetapan gelar pahlawan nasional akan ditentukan oleh presiden melalui diskusi dengan Dewan Gelar.
Menjadikan presiden sebagai pemegang hak prerogatif penetapan gelar pahlawan nasional sejatinya adalah model yang telah berlangsung sejak lama. Pada masa pemerintahan Sukarno, Sang Proklamator memberi gelar pahlawan nasional kepada 36 tokoh. Beberapa di antaranya dinilai bermasalah. Sutan Sjahrir, misalnya. Gelar untuk Sjahrir adalah pemberian gelar tercepat, yakni satu hari setelah Sjahrir meninggal.
Selain itu, pemberian gelar untuk Sjahrir dinilai politis. Dua tahun sebelum kematian Sjahrir, tepatnya 1964, jadi tahun paling banyak Sukarno mengobral gelar pahlawan nasional. Setidaknya ada sepuluh tokoh yang diberikan gelar pahlawan nasional. Komposisinya beragam. Dua orang dari TNI, dua dari Nahdlatul Ulama (NU), dua dari Muhammadiyah, dan tiga dari unsur perempuan. Dan Sjahrir adalah representasi dari Nasakom, unsur komunis kala itu.
Zaman Soeharto pun begitu. Beberapa pemberian gelar diberikan lewat prosedur yang tak jelas. Penulis buku Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi, Osa Kurniawan Ilham menyoroti politisnya pemberian gelar pahlawan nasional di masa Soeharto. Tentang pemberian gelar pahlawan terhadap Siti Hartinah (Bu Tien), misalnya.
"Ada satu kasus yang politis juga. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Ibu Tien Soeharto. Jasanya (Bu Tien) apa? Karena mendampingi Soeharto?" tutur Osa kepada VOI, Rabu 20 November.
Pada masa Soeharto, pemberian gelar pahlawan juga disoroti terhadap sejumlah tokoh. Basuki Rahmat, misalnya. Kisah keterlibatan Basuki dalam terbitnya Supersemar yang jadi langkah penggulingan Soeharto terhadap Sukarno membuat gelar kepahlawanannya dipertanyakan.
Pembaruan payung hukum
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mengamini banyaknya persoalan dalam pemberian gelar pahlawan nasional. Menurutnya, jika harus ada pembenahan, hal itu harus dilakukan pada mekanisme pengkajian nama tokoh calon penerima gelar.
"Tapi kalau ada pahlawan nasional, ada gugatan di tengah masyarakat, mempersoalkan kredibilitasnya sebagai pahlawan nasional, tentu kita minta kepada Mensos untuk tidak terburu-buru dijadikan pahlawan nasional," kata Yandri saat VOI temui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Sementara, sebuah terobosan progresif dilempar oleh Osa. Menurutnya, ketimbang gelar pahlawan nasional, simbolisasi penghormatan kepada pahlawan lebih baik digantikan dengan tanda jasa. "Dalam konteks kekinian tanda jasa lebih konstektual ketimbang gelar pahlawan," tutur Osa.
Menurutnya, sejak awal, pemberian gelar pahlawan nasional telah bermasalah akibat kentalnya subjektivitas dan politisasi penguasa. "Menurut saya negara masih punya hutang dg tidak memberi gelar pahlawan pada semua anggota BPUPK dan PPKI," katanya.
Perbedaan mendasar antara gelar pahlawan nasional dan tanda jasa ada pada pengelolaannya. Gelar pahlawan nasional diurus oleh Kemensos, sementara tanda jasa diurus Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
"Gelar pahlawan diberikan pada tokoh berjasa yang sudah meninggal. Sementara, tanda jasa lebih banyak diberikan pada tokoh yang masih hidup dan punya jasa dan layak diberikan tanda jasa," kata sejarawan, Kuncoro Hadi kepada VOI, Jumat, 22 November.
Apa pun terobosannya, berbagai catatan sejarah yang menyelimuti sejumlah nama pahlawan nasional harus jadi catatan. UU 20/2009 rasanya harus dibenahi. Dengan menambah syarat-syarat yang lebih spesifik dan substansial dalam pemberian gelar penghormatan, apapun bentuknya nanti.
Pahlawan nasional atau pun penerima tanda jasa selanjutnya harus bebas dari isu korupsi, hak asasi manusia (HAM), atau manipulasi masa lalu. "Saya kira penting (syarat spesifik) agar tidak jadi debatable di masyarakat ataupun subjektivitas bermain di situ," kata Yandri.
Ikuti Tulisan Seri khas VOI edisi ini: "Menjadi Pahlawan Nasional"