Imbas Predatory Pricing di-Social Commerce , Industri Tekstil Jabar Terancam Setop Produksi
JAKARTA - Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki melakukan kunjungan ke beberapa pabrik tekstil di Kecamatan Majalaya, Bandung, Jawa Barat, pada Minggu, 24 September.
Dia menyaksikan secara langsung kondisi terkini pabrik dan menerima keluhan beberapa pelaku UKM tekstil di sana.
Dalam kunjungannya, turut hadir sejumlah pelaku usaha tekstil terdiri dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Paguyuban Textile Majalaya, dan KADIN Kabupaten Bandung.
Teten menilai, para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi karena imbas praktik predatory pricing di platform social commerce.
"Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir, seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya, permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," kata Teten melalui keterangan tertulisnya, dikutip Senin, 25 September.
Dia mengatakan, produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga yang tidak masuk Harga Pokok Penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil yang tidak mampu bersaing.
"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," ujar Teten.
Menurut Teten, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) untuk langkah ke depan.
"Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Presiden Jokowi pun sudah mengatakan secepatnya ada Undang-Undang yang mengaturnya. Presiden sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas," ucapnya.
Tak hanya itu, Teten juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Sebab di China sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP. "Kalau kami terapkan itu bisa melindungi industri dalam negeri," tuturnya.
Pada kesempatan sama, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, saat ini perdagangan global memang sedang tidak baik-baik saja.
China yang merupakan produsen atau manufaktur besar dunia banyak barangnya yang tak terserap di negara-negara besar, seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Sehingga, mereka berusaha mencari pasar baru yang trade barrier-nya lemah.
"Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan market, karena Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar nomor empat dunia. Tak heran Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar. Jika tidak pintar-pintar memasang trade barrier, ekosistem ini akan hancur berimbas ke hulu," tuturnya.
Baca juga:
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman menambahkan, adanya serangan impor yang harganya di bawah pasar mendorong rendahnya permintaan, termasuk yang terjadi di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Imbasnya terjadi penurunan produksi bukan cuma satu atau dua pabrik, bahkan ribuan. Ditambah dampak pengangguran bahkan hingga jutaan," jelas dia.
Adapun pabrik tekstil di Kecamatan Majalaya, Bandung, Jawa Barat merupakan salah satu contoh kawasan yang penduduknya menjalani usaha pertekstilan pada hari biasa ramai aktivitas produksi.
Namun, sejak Lebaran hingga saat ini, penurunan produksi terus terjadi hingga beberapa pabrik tak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi.