Khawatir Jika Pembakaran Al-Qur'an Terus Terjadi, PM Swedia: Kita Menghadapi Risiko
JAKARTA - Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson "sangat khawatir" akan konsekuensi yang akan terjadi, jika demonstrasi yang menodai Al-Qur'an terus terjadi, di tengah meningkatnya kemarahan umat Islam terhadap serangkaian serangan terhadap kitab suci umat Islam tersebut.
Serangan terhadap Al-Qur'an di Swedia dan Denmark telah menyinggung banyak negara Muslim termasuk Turki, yang mendukung Swedia untuk bergabung dengan Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO), cita-cita Stockholm setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022.
PM Kristersson mengatakan kepada kantor berita Swedia TT, permintaan lebih lanjut telah diajukan kepada polisi untuk mendapatkan izin guna menggelar protes di mana penodaan terhadap Al-Qur'an kembali direncanakan.
"Jika permohonan tersebut dikabulkan, kita akan menghadapi hari-hari di mana ada risiko yang jelas akan terjadi sesuatu yang serius. Saya sangat khawatir dengan apa yang akan terjadi," ujarnya seperti melansir Reuters 28 Juli.
Diketahui, Kedutaan Besar Swedia di Baghdad diserbu dan dibakar pada tanggal 20 Juli, oleh para pengunjuk rasa yang marah dengan rencana pembakaran Al-Qur'an.
Lebih jauh PM Kristersson mengatakan, keputusan apakah akan memberikan izin untuk demonstrasi itu tergantung pada polisi.
Sementara itu, Badan keamanan Swedia, SAPO, tetap mempertahankan penilaian tingkat ancaman pada angka 3 dari skala 5, yang menandakan "ancaman yang meningkat" selama krisis ini, namun kepala SAPO mengatakan telah terjadi reaksi yang kuat terhadap kejadian-kejadian yang terjadi baru-baru ini.
"Swedia telah berubah dari negara yang dianggap sebagai negara yang toleran menjadi negara yang dianggap sebagai negara anti-Islam," kata Charlotte von Essen kepada para wartawan pada hari Kamis.
Sebelumnya, Denmark dan Swedia telah mengatakan mereka menyesalkan pembakaran Al-Qur'an, namun tidak dapat mencegahnya di bawah aturan yang melindungi kebebasan berpendapat.
Di sisi lain, Swedia menuduh negara-negara lain - seperti Rusia - memanipulasi krisis ini untuk merusak kepentingannya dan upayanya untuk bergabung dengan NATO.
"Di beberapa negara ada persepsi, negara Swedia berada di belakang atau memaafkan hal ini. Kami tidak," kata Menteri Luar Negeri Swedia Tobias Billstrom.
"Ini adalah tindakan yang dilakukan oleh individu, tetapi mereka melakukannya dalam kerangka hukum kebebasan berpendapat," terangnya.
Billstrom mengatakan, ia telah menghubungi menteri luar negeri Iran, Irak, Aljazair dan Lebanon, serta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai krisis yang terjadi saat ini.
Baca juga:
- Juli 2023 akan Menjadi Bulan Terpanas Dunia Lampaui Rekor 174 Tahun, Sekjen PBB: Ini Menakutkan dan Baru Permulaan
- Polwan Indonesia Jadi Salah Satu Lulusan Terbaik Pendidikan Polisi Turki, Presiden Erdogan Titip Salam untuk Presiden Jokowi
- PM Netanyahu Bela Reformasi Peradilan, Pejabat Militer Peringatkan Ancaman dari Musuh Israel
- Pejabat Rusia dan China Akrab dengan Kim Jong-un Saksi Rudal Terbaru Korut, PBB: Tanggung Jawab Bersama Tegakkan Resolusi
"Dan baru saja saya akan berbicara dengan Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-Negara Islam," ungkap Billstrom.
"Kami akan mendiskusikan isu-isu ini dan penting untuk menekankan bahwa ini adalah isu jangka panjang, tidak ada perbaikan yang cepat," tambahnya.
Diketahui, Pemerintah Swedia menghadapi tindakan penyeimbangan yang sulit dalam mempertahankan undang-undang kebebasan berbicara yang luas, sementara pada saat yang sama menghindari potensi penghinaan terhadap Muslim.