Peneliti Muda Bangun Sistem Kolaboratif Dukung Konservasi Bekantan
JAKARTA - Para peneliti muda yang tergabung dalam Forum Saintis Muda Biologi Indonesia (Forsambi) membangun sistem kolaboratif mendukung upaya konservasi bekantan di Kalimantan Selatan.
"Forsambi telah menghasilkan 15 naskah penelitian dan empat buku ilmiah yang semuanya dengan semangat kolaboratif dalam menjaga alam melalui hasil riset," kata pendiri Forsambi Dr Amalia Rezeki MPd di Banjarmasin, Minggu, dikutip Antara.
Berpusat di Stasiun Riset Bekantan di Pulau Curiak di Desa Marabahan Baru, Kabupaten Barito Kuala, para peneliti muda dari sejumlah perguruan tinggi kerap berkumpul mendiskusikan hasil temuan ilmiahnya di lapangan.
Amalia yang merupakan doktor konservasi bekantan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menyebut forum saintis yang dibentuk sejak 5 November 2020 itu sebagai wadah komunikasi dan koordinasi yang baik antar peneliti muda biologi di tanah air.
Pihaknya juga terus menggiatkan kegiatan keilmiahan baik riset interdisipliner, kajian edukatif dan penerbitan buku ilmiah.
Sementara Prof Hadi Sukadi Alikodra selaku Dewan Kehormatan Pembina Forsambi mengatakan peran peneliti muda sangat diharapkan menjadi agen perubahan untuk turut aktif berkontribusi dalam upaya pelestarian alam dan lingkungan.
Apalagi Ahli konservasi alam dan pengelolaan margasatwa Institut Pertanian Bogor (IPB) ini melihat jumlah peneliti muda di Indonesia yang meminati riset pelestarian satwa masih tergolong kecil.
"Generasi muda harus sadar pentingnya keterlibatan mereka untuk ikut serta dalam upaya konservasi karena kita harus peduli dan ini menjadi tanggung jawab bersama menjaga makhluk di muka bumi," ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan Hanifah Dwi Nirwana turut mengapresiasi peran Forsambi yang dinilainya telah berbuat nyata untuk peduli terhadap alam termasuk upaya konservasi bekantan sebagai maskot fauna Kalimantan Selatan.
"Bekantan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya, jika salah satu dari keragaman hayati hilang, maka akan terganggu keseimbangan ekosistem di alam," jelas Hanifah yang juga Ketua Harian Badan Pengelola Geopark Meratus.