Mengenal Konsep Slow Living, Seni Hidup Melambat yang Bikin Bahagia
JAKARTA - Saat ini, dunia terasa bergerak dengan begitu cepat. Banyak orang dituntut untuk mengejar berbagai pencapaian dan kesuksesan. Bisa dalam hal materi, karier cemerlang, ataupun status sosial.
Seolah tak ada waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya ingin dilakukan, orang terus berlari tanpa jeda demi mengejar ketinggalan.
Mengutip hasil survei Harvard Business School, sekitar 94% profesional bekerja lebih dari 50 jam per minggu.
Pada tahun 2016 studi Badan Ekonomi Kreatif menyatakan sepertiga pekerja di industri kreatif memiliki jam kerja lebih dari 48 jam per minggu.
Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa kaum pekerja seakan tak punya pilihan lain. Sebagian besar hidupnya hanya dihabiskan untuk bekerja dan bekerja.
Kehidupan serba cepat membuat kesehatan fisik dan mental rentan terganggu. Seolah-olah, Anda tak punya kebebasan untuk menentukan apa yang disukai dan ingin dilakukan, lalu terpaksa mengikuti budaya serba cepat ini.
Bila mulai merasa lelah, atau bahkan muak, cobalah mundur satu langkah. Pikirkan baik-baik apakah memang ini yang Anda inginkan?
Jika jawabannya tidak, Anda bisa mencoba salah satu solusi untuk mengatasinya, yaitu dengan menjalankan konsep slow living.
Seperti namanya, gaya hidup slow living akan membuat Anda melambat sejenak untuk menikmati hidup dan berbagai momen yang terjadi saat ini.
Secara umum, slow living merupakan respons atas rutinitas yang cepat, serba teratur, dan dipenuhi dengan kesibukan tiada henti. Saat menjalani konsep ini, orang-orang akan mengutamakan hidup dengan keseimbangan dan tak berlebihan.
Orang-orang yang menganut konsep ini memiliki pemahaman bahwa kesibukan dan gaya hidup serba cepat itu sebenarnya merebut banyak hal. Ini termasuk waktu, kesehatan, hingga kenikmatan menjalani hidup itu sendiri.
Baca juga:
Slow living berawal dari Slow Food Movement yang dibuat Carlo Petrini tahun 1986. Pria asal Italia ini membuat Slow Food Movement untuk melawan gerakan fast food, terutama McDonalds, yang saat itu membuka gerainya di Piazza di Spagna, Roma, Italia.
Tujuan dari kampanye ini ialah melindungi makanan tradisional dan budaya gastronomi yang dinilai lebih sehat dan nikmat. Berawal dari gerakan ini, akhirnya gaya hidup melambat ini meluas ke berbagai aspek, sampai kehidupan secara menyeluruh.
Gaya hidup ini pun menentang konsumerisme berlebihan dan menepis pandangan bahwa hanya kekayaan materi yang bisa membuat orang bahagia.
Konsumerisme dan materialisme tanpa disadari membuat orang terus berlomba-lomba mencapai posisi tertinggi tanpa tahu kapan harus berhenti. Karena pada dasarnya, manusia seringkali merasa tidak cukup.
Sedangkan pada slow living, Anda bisa punya ukuran kebahagiaan versi diri sendiri. Anda akan berfokus pada hal-hal kecil yang sering terlewatkan dan menikmati kesederhanaan penuh makna.
Menerapkan konsep slow living juga bisa membuat Anda fokus terhadap hal-hal yang terjadi saat ini dan tak hanya memusingkan masa depan.
Beberapa keuntungan yang dirasakan saat menjalankan slow living yaitu Anda lebih sehat secara fisik dan mental.
Nikmati waktu untuk berolahraga untuk meningkatkan kesehatan fisik seperti berjalan kaki, bersepeda, atau apapun. Jangan lupakan kesehatan mental dengan rutin bermeditasi, melakukan self-care, dan memiliki work-life balance.
Anda pun akan punya banyak waktu untuk memperbaiki hubungan dengan orang-orang tersayang. Bila sebelumnya selalu sibuk dengan urusan pribadi, kini saatnya kembali terkoneksi secara intim dan nikmati momen kebersamaan bersama teman, keluarga, dan pasangan.
Waktu kosong juga bisa dinikmati untuk istirahat atau mempelajari hal-hal baru di luar pekerjaan untuk menyenangkan hati dan meningkatkan keterampilan.
Tak lupa untuk menyatu dengan alam, menikmati momen liburan dengan baik, dan mengurangi intensitas penggunaan gawai.
Tapi ingat, meski konsepnya hidup melambat, ini bukan jadi alasan untuk bermalas-malasan dan tidak produktif.
Anda harus tetap fokus mengerjakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, namun dengan skala prioritas. Dengan tidak terburu-buru, diharapkan hasilnya akan lebih baik dan memuaskan.