Kuasa Hukum Helmut Beberkan Kronologi Dugaan Kriminalisasi Bisnis Tambang
JAKARTA - Kuasa Hukum eks Direktur Utama PT CLM Helmut Hermawan, Rusdianto Matulatuwa menjelaskan awal mula dugaan kriminalisasi yang dialami kliennya.
Rusdianto mengatakan, awalnya PT Asia Pasific Mining Resources (APMR) selaku pemilik PT CLM membuat kesepakatan secara perdata dengan PT Assera yang diwakili Zainal Abidinsyah.
PT APMR kemudian berniat meminjam dana kepada PT Assera dengan kompensasi pemberian saham. Tapi perjanjian pada tahun 2019 itu tidak mencapai kata sepakat.
“Karena perjanjian sudah hampir masuk pada batas waktu yang ditentukan, mereka kembali membuat perjanjian perdata accesoir (tambahan) daripada perjanjian pokok yang pertama tadi," kata Rusdianto, dalam keterangannya, Senin 6 Maret.
Pada akhirnya kata Rusdianto, kedua kesepakatan tidak ada yang terpenuhi. Sehingga harus lewat mekanisme gugatan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Tapi putusan BANI tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terutama soal Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
“Namun di perjanjian accesoir-nya itu tidak berubah," ujar Rusdianto.
Tapi belakangan, isi perjanjian accesoir itu lah yang menimbulkan kisruh. Lantaran memunculkan kekuatan eksekutorial, sehingga PN Jaksel menerima permohonan untuk melakukan eksekusi saham.
Rusdianto mengatakan, ketika eksekusi ada multitafsir dalam berita acara. Ia menyebut, eksekusi yang dilakukan Senin 18 April 2022 sudah berjalan tapi belum terlaksana.
Namun berita acara eksekusi itu dicantumkan ke dalam akta notaris nomor 6 tanggal 24 Agustus 2022, yang menyatakan tentang pernyataan perubahan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
“(Padahal) Juru sita tidak berhasil menemui orang yang akan dieksekusi sahamnya,” ujar Rusdianto.
Rusdianto menambahkan, sebelum proses eksekusi dilakukan, kliennya sempat meminta pemblokiran saham kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM.
Oleh karena itu, pihak ketiga yang ingin mengeksekusi saham tidak bisa melihat susunan direksi dan sahamnya di perusahaan. Akibatnya proses eksekusi tidak berhasil dilakukan.
Namun Rusdianto mengatakan, karena berita acara eksekusi telah dituangkan dalam akta notaris, Dirjen AHU bisa membuka blokir yang dilakukan kliennya dan leluasa melihat komposisi saham di PT APMR maupun PT CLM.
“Sehingga mereka melakukan perubahan atas kepemilikan saham PT APMR," ucap Rusdianto.
Pada 13 September 2022 pukul 17.20 WIB, perubahan akta notaris itu ditetapkan dalam RUPS PT APMR. Malam harinya, sekitar pukul 20.59 WIB, keputusan itu disahkan AHU. Semenit kemudian, notaris mengeluarkan akta nomor 7 tentang keputusan para pemegang saham PT CLM.
Anehnya, sebelum hari berganti, Dirjen AHU kembali menerbitkan pengesahan. Padahal proses ini biasanya memakan waktu cukup lama.
Dengan demikian Rusdianto mengatakan, dalam waktu tujuh jam ada dua akte yang dibuat Dirjen AHU. Hal itu membuat kliennya kehilangan komposisi saham dan posisi direksi.
"Karena sudah takedown, tentu secara legalitas formil, membuat hak saham ada pada sisi mereka. Nah, kami yang awalnya ada menjadi tidak ada dan ilegal," tutur Rusdianto.
Kejanggalan lainnya adalah surat keputusan (SK) yang dikeluarkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, terkait Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang terbit pada Sabtu 4 Februari.
Surat itu pada akhirnya membuat Rusdianto dan kliennya sibuk dengan kepolisian. Padahal menurutnya, masalah awalnya adalah PPJB yang belum terselesaikan.
Dalam pandangannya, Rusdianto menduga ada kehadiran pihak tertentu dengan kekuasaan besar yang membuat hukum jadi lumpuh.
“Hal-hal itu membuat prosesnya berjalan satu arah. Saya mengimbau penegak hukum, berikan kesempatan untuk diselesaikan secara asal mulanya," kata Rusdianto.
Pihaknya saat ini sedang mengajukan gugatan pembatalan PPJB di PN Jaksel dan pembatalan untuk SK yang dikeluarkan Ditjen AHU, terkait dengan akta yang keluar dalam satu malam.
Baca juga:
Rusdianto menegaskan, proses hukum yang menimpa kliennya terkesan dipaksakan. Terutama persoalan pidana yang bersifat ultimum remedium yang sehharusnya menjadi upaya hukum terakhir setelah proses lainnya dilewati.
"Kalau ini tetap diteruskan satu arah, kami bisa kehilangan segala-galanya," ucap Rusdianto.
Sementara itu, Ahmad Redi selaku akademisi dan juga pakar bidang hukum pertambangan menilai kasus yang dialami Helmut Hermawan dengan PT CLM adalah ranah perdata.
Dasarnya adalah UU Minerba nomor 4 tahun 2009 dan UU Nomor 3 tahun 2020 yang menyatakan, pemilik usaha pertambangan bisa mengalihkan sahamnya sepanjang memiliki persetujuan dari Menteri ESDM.
“Jadi kalau tidak ada izin dari menteri ESDM, suka tidak suka, mau tidak mau proses pengalihan saham secara hukum tidak sah jadi tidak sebatas di AHU," ujarnya.
Kemudian dia meminta penegak hukum melihat kasus ini dari kacamata hukum perdata sebelum membawanya ke ranah pidana. Jika melanggar secara perdata, maka ada ancaman sanksi administrasi sampai dengan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kemudian dalam konteks hukum pidana, harus ada pembuktian terlebih dahulu dalam proses penyidikan jika ada pemalsuan maupun ada informasi yang disampaikan secara tidak benar dengan niat jahat.
“Misalnya dalam konteks mengurangi penerimaan negara, atau memperluas wilayah khususnya," katanya.