Jack Ma 'Hilang', Terkait China Dream?
JAKARTA - Jagat dunia maya dihebohkan dengan kabar hilangnya miliarder sekaligus taipan teknologi China, Jack Ma. Desas-desus yang berkembang, Chairman Eksekutif dari Alibaba Group bahkan 'menghilang' tiba-tiba sejak Oktober tahun lalu.
Melansir Forbes, Analis Mike O'Sullivan mengungkapkan jika sejumlah miliarder Negeri Tirai Bambu mendadak hilang antara rentang waktu 2016-2017. Beberapa di antara mereka yang hilang akhirnya kembali lagi. Istri, kekasih hingga rival bisnis ditenggarai turut andil dalam hilangnya para miliarder ini.
Rentang waktu hilangnya para miliader tersebut diketahui berbarengan dengan menguatnya wacana antikorupsi dan antimonopoli. Bukan suatu kebetulan menurut O'Sullivan, jika otoritas China sedang melakukan penyelidikan antimonopoli terhadap gurita bisnis milik Jack Ma, Alibaba dan Ant Financial (dulu bernama Alipay).
"Beberapa minggu sebelum pengumuman penyelidikan menjelang IPO (penawaran umum perdana saham) Ant, Jack Ma mengkritisi regulator China yang dianggapnya memiliki mentalitas pegadaian. Penghinaan ini dianggap berlebihan bagi otoritas China," tulis O'Sullivan.
Lebih jauh ia menuliskan, 'serangan' regulasi terhadap Alibaba menguatkan penilaian bahwa Partai Komunis Tiongkok merupakan ancaman terhadap kebebasan perusahaan. Penilaian ini menurutnya mahfum terjadi di AS dan Eropa
Terkait 'serangan' terhadap Alibaba, O'Sullivan menuliskan adanya dua faktor yang saling berkaitan. Pertama, sedikitnya ruang untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kedua, kepentingan untuk menjaga kelangsungan ekonomi China untuk memenuhi visinya agar ekonomi China tidak dimonopoli oleh segelintir orang/kelompok.
China Dream
O'Sullivan menulis, Presiden Xi Jinping lewat kampanye 'China Dream' ingin mengembalikan kejayaan ekonomi China seperti berabad-abad lampau. Karenanya, negara memegang kendali penuh dalam berbagai hal termasuk ekonomi. Kendati, sepintas perilaku ekonomi Beijing seperti ekonomi kapitalis.
Baca juga:
Sistem ini bukan tanpa resiko, kendati masyarakat menikmati kemakmuran, ketertiban dan kebanggaan nasional. Ancaman nyatanya adalah, periode pengangguran dan utang yang besar di China. Berbeda dengan di AS dan Eropa, China masih mengizinkan perusahaan yang bangkrut untuk gagal bayar dan melakukan restrukturisasi.
"Saya menulis tentang 'Ekonomi Sisyphean', di mana pemerintah dan bank sentral mendorong aktivitas perekonomian dengan menyuntikkan likuiditas. Dari negara-negara besar, hanya China yang memahami relevansi ini terkait besarnya hutang di China. Ini bijaksana, mengingat ancaman terhadap popularitas Presiden Xi Jinping dan Partai Komunis, serta tidak ada yang dapat menghalangi 'China Dream'," tutup O'Sullivan.