Tuntutan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa: Hanya Nafsu Kekuasaan, Bukan untuk Kepentingan Rakyat

JAKARTA – Rasa heran muncul ketika melihat aksi ribuan kepala desa yang berani menggeruduk gedung DPR RI, Jakarta pada 17 Januari lalu meminta perpanjangan masa jabatan. Mereka beralasan 6 tahun waktu yang singkat untuk menjalankan program-program pembangunan, belum lagi konflik politik yang kerap terjadi ketika akan memasuki masa pemilihan.

Sehingga langkah yang ideal, menurut para kepala desa, adalah memperpanjang masa jabatan menjadi 9 tahun.

Mereka seolah memiliki modal besar yang bisa memaksa DPR mengabulkan permintaan tersebut. Terlihat dalam ucapan sejumlah pengunjuk rasa yang beredar di media sosial, “Sembilan tahun saya tunggu kabarmu. Kalau ndak kita habisi di 2024, semangat. Partai politik yang tidak mendukung, kita habisi di desa.”

Itu, kata analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun, jelas menandakan apa yang dilakukan kepala desa semata hanya kepentingan politik untuk mempertahankan kekuasaan. Bukan demi menjalankan program pembangunan menyejahterakan desa.

“Mereka datang ke Jakarta seolah menagih janji politik kepada para elite kekuasaan di pusat, baik eksekutif maupun legislatif. Kalau kita lihat dari runutannya seperti ada korelasi, mulai gagasan 3 periode, penundaan pemilu, terus sekarang tiba-tiba kepala desa minta perpanjang jabatan,” kata Ubedilah kepada VOI, Jumat (27/1).

“Artinya, patut dicurigai, kepala desa memang dipergunakan elite untuk kepentingan politik kontestasi 2024. Cukup jelas terbaca,” lanjutnya.

Kepala Desa berunjuk rasa di Gedung DPR pada 17 Januari 2023 menuntut perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun. (Antara/Rivan Awal Lingga)

Alasan yang dilontarkan para kepala desa tidak relevan. Presiden saja yang mengurusi negara sudah bisa berbuat banyak hanya dalam waktu lima tahun.

“Sedangkan kepala desa, jumlah masyarakatnya jauh lebih sedikit, wilayahnya jauh lebih kecil, masa enam tahun tidak cukup. Ini lebih dari cukup untuk memimpin dan mengelola desa jika kepala desanya memiliki leadership yang bagus,” kata dia.

Justru yang terjadi nantinya, praktek-praktek korupsi akan semakin merajalela. Saat ini saja, KPK menyebut ada 686 kepala desa yang terjerat korupsi selama sembilan tahun terakhir. Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mengungkapkan hal sama. Terdapat 592 kasus korupsi selama periode 2015-2021.

Bahkan, ICW menyatakan korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum selama periode tersebut.

“Enam tahun saja banyak yang korupsi, terus mau sembilan tahun? Intinya, tidak ada alasan kuat memperpanjang masa jabatan kepala desa. Meski pakai alasan efisiensi dan pengalihan anggaran sekalipun. Jadi, jelas ada kerjaan elite yang memanfaatkan instrumen kepala desa untuk tujuan politiknya,” kata Ubedilah.

Merusak Demokrasi

Lagipula, bila merujuk ketentuan undang-undang, masa jabatan kepala desa bisa dibilang eksklusif. Pascareformasi sudah beberapa kali berubah.

Awalnya, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan masa jabatan kepala desa serupa dengan presiden atau kepala daerah lainnya, paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan.

Lalu, sejak terbit UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masa jabatan kepala daerah diperpanjang. Sesuai Pasal 204, masa jabatan kepala desa adalah enam tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan berikutnya.

Dalam aturan terbaru yakni Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa masa jabatan kepala desa tetap sama, yakni selama enam tahun, tetapi dapat menjabat tiga kali masa jabatan secara berturut-turut.

“Artinya, kalau memang terpilih terus-menerus, bisa 18 tahun kepala desa berkuasa. Ini berbahaya, merusak demokrasi,” ucap Ubedilah.

Juga, merusak regenerasi kepemimpinan di tingkat desa. Tidak ada kesempatan untuk kalangan muda tampil menjadi pemimpinan. Padahal, kata Ubedilah, “Bisa saja generasi muda milenial atau Z punya kemampuan leadership lebih bagus dan punya visi misi yang lebih kontekstual dengan zamannya.”

Sejumlah pengunjuk rasa perpanjangan masa jabatan kepala desa  di Gedung DPR pada 17 Januari 2023 mengancam, “Partai politik yang tidak mendukung, kita habisi di desa.” (Tangkapan layar video Twitter)

ICW, dalam siaran pers pada 26 Januari lalu, juga menganggap tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 yang menekankan limitasi terhadap kekuasaan di cabang eksekutif.

Perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat dan bahkan dapat menyuburkan oligarki di desa.  Belum lagi ditambah fenomena dinasti yang juga muncul dalam pemilihan kepala desa.

“Akibatnya, potensi sebuah desa dipimpin oleh kelompok yang sama selama puluhan tahun semakin terbuka lebar,” tulis ICW. 

Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19 sempat menyatakan kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Pernyataan ini masih relevan. Banyak negara khususnya yang menganut sistem presidensial sudah membuktikannya, termasuk Indonesia.

Lamanya masa pemerintahan Orde Lama selama 22 tahun dan Orde Baru selama 32 tahun menjadi pelajaran berharga bagaimana rentannya terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenangan ketika masa jabatan pemimpin terlalu lama atau tidak dibatasi.

Prioritas Hal Lain

Sebenarnya, banyak permasalahan lain yang perlu diatasi ketimbang meributkan perpanjangan masa jabatan. Menurut ICW, salah satu masalah mendasar di desa saat ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pembangunan.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan pembangunan oleh pemerintah desa disinyalir kerap melatarbelakangi praktik korupsi di sana. 

Belum lagi, Ubedilah menambahkan, soal money politics yang saat ini sudah menjadi tren pemilihan kepala desa. Ini membahayakan.

“Saat ini, minimal Rp2,5 miliar untuk biaya kampanye kepala desa. Bahkan, ada yang sampai Rp10 miliar. Sementara, gaji mereka hanya sekitar Rp2,5 juta. Beruntung kalau punya tanah bengkok luas, kalau tidak ya susah balik modal,” katanya.

“Padahal dulu, tidak ada uang-uang politik. Zaman saya kecil, calon kepala desa datang ke rumah, kampanye, ya tidak ngasih apa-apa. Mungkin karena pengaruh besar dari kontestasi pilpres, legislatif, pilkada, yang calon-calonnya bagi-bagi uang. Kepala desa akhirnya meniru dan terus menjadi tren,” Ubedilah melanjutkan.

Ubedilah Badrun berpendapat bahwa tuntutan perpanjang masa jabatan kepala desa bakal merusak tatanan demokrasi. (Istimewa)

Lebih efisien, menurut dia, pemilihan kepala desa melalui musyawarah perwakilan dusun atau RT/RW, “Jauh lebih hemat, tidak perlu ada kampanye yang buang-buang uang banyak.”

Ubedilah berharap wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak lagi dibahas lebih lanjut, “Presiden harus menolak. DPR juga jangan sampai merevisi pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014.”

Menanggapi itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya memberi pernyataan singkat, "Undang-undangnya sangat jelas, membatasi enam tahun dan selama tiga periode."

“Iya yang namanya keinginan, yang namanya aspirasi itu silakan disampaikan kepada DPR. Prosesnya silakan nanti ada di DPR,” kata Presiden usai meninjau proyek sodetan Kali Ciliwung, Jakarta pada 24 Januari lalu.